NU Cirebon
Cirebon – Niat adalah syarat utama dalam setiap bentuk ibadah, termasuk puasa. Validitas sebuah ibadah sangat ditentukan oleh kejelasan niat yang tersemat dalam hati. Dalam Islam, ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, ibadah tidak hanya dinilai dari bentuk lahiriah, tetapi dari maksud dan tujuan di dalam hati seseorang.
Pentingnya Niat dalam Puasa Tasu’a dan Asyura
Secara umum, niat dalam puasa mencakup qashad (maksud berpuasa), ta’arrudh (menentukan status puasa: wajib atau sunnah), dan ta’yin (penyebutan jenis puasa tertentu seperti Arafah, Asyura, dll.).
Dalam konteks puasa sunah Tasu’a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai keharusan ta’yin, yaitu menyebutkan secara spesifik jenis puasanya dalam niat.
Sebagian ulama menyatakan bahwa menyebutkan jenis puasanya di dalam niat (misalnya: “puasa Asyura”) merupakan syarat agar ibadahnya sah dan sesuai target. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa niat umum untuk puasa sunah sudah mencukupi, selama dilakukan pada hari yang sesuai.
Pandangan Ulama Tentang Ta’yin dalam Puasa Sunah
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, dikemukakan bahwa puasa sunah seperti Asyura, Arafah, dan puasa-puasa rawatib lainnya memiliki keistimewaan waktu. Oleh karena itu, walau seseorang tidak menyebutkan secara spesifik jenis puasanya, selama ia berpuasa pada hari tersebut, pahala puasa rawatib tetap diraih.
Ini mirip dengan shalat tahiyyatul masjid—meskipun tidak diniatkan secara khusus, selama seseorang masuk masjid dan melakukan shalat dua rakaat, ia tetap mendapatkan pahalanya.
Namun, untuk memperjelas dan memperkuat ibadah, disarankan menyebutkan jenis puasa dalam niat secara eksplisit, terutama dalam konteks ibadah yang sangat spesifik seperti Tasu’a dan Asyura.
Lafal Niat Puasa Tasu’a (9 Muharram)
Berikut ini lafal niat untuk melaksanakan puasa sunah Tasu’a pada tanggal 9 Muharram:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَّاسُوعَاءِ لِلَّهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tâsû‘â lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya berniat puasa sunah Tasu’a esok hari karena Allah Ta‘ala.”
Lafal Niat Puasa Asyura (10 Muharram)
Adapun berikut ini adalah niat puasa untuk tanggal 10 Muharram, yaitu puasa Asyura:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ عَاشُورَاءَ لِلَّهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil ‘Âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah Ta‘ala.”
Berbeda dengan puasa wajib seperti Ramadhan, di mana niat harus dilakukan sebelum fajar, untuk puasa sunah seperti Tasu’a dan Asyura, niat boleh dilakukan di pagi hari, selama belum makan, minum, atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.
Ini sesuai dengan pendapat dalam mazhab Syafi’i yang memperbolehkan niat puasa sunah hingga sebelum tergelincir matahari (zawal), selama belum melakukan pembatal puasa.
Lafal Niat Puasa di Siang Hari
Jika seseorang baru berniat puasa Tasu’a atau Asyura di pagi atau siang hari, berikut lafal yang dapat diucapkan:
نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَّاسُوعَاءِ أَوْ عَاشُورَاءَ لِلَّهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tâsû‘â awil ‘Âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Saya berniat puasa sunah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah Ta‘ala.”
Niat adalah inti dari ibadah. Dalam puasa sunah seperti Tasu’a dan Asyura, niat bisa dilakukan pada malam hari atau siang hari (jika belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Meski sebagian ulama tidak mewajibkan menyebutkan jenis puasanya (ta’yin), menyebutkannya tetap lebih baik demi memperkuat niat dan kesempurnaan ibadah.
Dengan memperhatikan niat secara benar dan sesuai syariat, ibadah puasa Tasu’a dan Asyura yang kita lakukan dapat menjadi amal yang berpahala besar dan penuh keberkahan.