NU Cirebon Online,
Agaknya trend baru dalam aksi terorisme menjadikan perempuan sebagai pelaku. Sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan patriarkal, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan perempuan sebagai pelaku dan dengan pendekatan feminin. Meskipun faktanya perempuan adalah pelaku, hakikinya mereka adalah korban. Korban dari kondisi ketidaktahuan mereka lalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana yang sistematik untuk aksi terorisme.
Ketua PC Fatayat NU Kabupaten Cirebon Roziqoh mengungkapkan, sejumlah faktor ditengarai sebagai penyebab mengapa perempuan terlibat terorisme. Di antaranya, faktor pergaulan dan pertemanan, perasaan teralienasi dan terpinggirkan, perasaan frustrasi dan dendam, namun faktor ideologi radikal menjadi kata kunci ketika mereka sudah berada dalam kelompok teroris.
Sejumlah penelitian mengungkapkan, para perempuan yang direkrut dalam jaringan tersebut didoktrin setiap saat dengan pandangan keislaman yang radikal. Mereka dijejali dengan narasi-narasi Islam tertindas, tentang romantisme kejayaan Islam masa khilafah. Tentang wajibnya mendirikan negara khilafah yang akan membebaskan mereka dari ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka juga didoktrin dengan kisah-kisah figur perempuan pemberani dalam sejarah Islam. Wajibnya menegakkan syariat Islam dan pentingnya menghapus demokrasi dan negara Pancasila yang mereka juluki sebagai thagut (musuh Islam).
“Hakikatnya perempuan hanya korban dari oknum-oknum yang memiliki rencana jahat itu,” ujarnya saat pelantikan PC Fatayat NU Kabupaten Cirebon, Ahad (1/3).
Perempuan yang akrab disapa Iqoh ini menambahkan, faktor lain yang menyebabkan perempuan rentan menjadi korban radikalisme yaitu kurangnya bargaining position yang dimiliki perempuan. Perempuan tidak bisa melakukan penolakan jika ada pihak yang mengajak menikah khususnya dengan yang memiliki gelar keagamaan seperti ustaz, ataupun syekh. Selain itu perempuan juga tidak memiliki daya tolak karena suami atau saudaranya sudah bergabung menjadi bagian kelompok radikalisme. Sehingga mau tidak mau perempuan akan ikut menjadi bagian dari kelompok tersebut. Hal ini biasanya disertai dengan ketidakberdayaan perempuan dari faktor ekonomi.
Berbagai tantangan radikalisme ini harus direspon dengan penuh strategi oleh perempuan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah meneguhkan jati diri perempuan sebagai pemangku kearifan lokal. Karena kearifan lokal sangat melekat kuat dalam diri perempuan. Jejak kearifan lokal bangsa ini banyak sekali yang identik dengan kebesaran dan peran besar perjuangan kaum perempuan.
“Perempuan harus memiliki strategi dalam merespon isu ini, agar tidak mudah terpapar paham radikalisme terutama menjaga dilingkungan terdekat yakni keluarga,” terangnya.
Fatayat NU Kabupaten Cirebon merasa penting untuk terlibat dalam dalam upaya mecegah paham-paham radikalisme, karena Fatayat NU merupakan Organisasi perempuan yang memiliki tujuan untuk menjadi teladan bagi masyarakat dan perempuan Indonesia untuk berprilaku-sikap yang mendukung agama, bangsa dan negara secara beriringan, dan ikut berpartisipasi dalam mewujudkan islam yang rahmatal lil’alamian.
Ketua pelaksana pelantikan PC Fatayat NU Kabupaten Cirebon Iis Istianah mengungkapkan, kurang lebih perwakilan dari 40 kecamatan akan meramaikan pelantikan ini. Adapun agenda yang akan diselenggarakan meliputi semaan Al-Qur’an oleh IHQ, seminar menangkal radikalisme, dan bazar.
“Kurang lebih pesertanya 400 an dari 40 kecamatan se Kabupaten Cirebon, bazar merupakan hasil karya anggota untuk dipamerkan,” tegas perempuan bermata sipit itu.
(Widi)