NU Cirebon
Al-Qur’an yang sudah melekat di hati, harusnya seperti pecandu kopi yang jika tidak meminumnya akan terasa ada yang hilang pada dirinya.
Demaikian disampaikan oleh Ketua Jam’iyyatul Qurra Wal Huffaz Nahdlatul Ulama (JQHNU) Kabupaten Cirebon KH. Ahmad Kholik saat kegiatan Sema’an al-Qur’an rutinan Minggu, 12 September 2021.
“Saya ingin belajar dari kopi, kopi itu bagi penggemar mungkin menjadi sesuatu pelengkap hidup, mungkin ada yang hilang jika tidak minum kopi. Tentu, jika hanya dilihat saja kopi ini tidak akan terasa nikmat, melainkan ia haruslah diminum untuk dapat dirasakan,” katanya
Menurutnya, al-Qur’an yang ada di hadapan kita ini layaknya seperti kopi, mungkin banyak yang tidak paham seperti halnya kita tidak tahu komposisi kopi ini apa lagi, cafeinnya berapa, tetapi dimunum saja enak, buktinya ketagihan.
“Dan hari ini, al-Qur’an yang ada di dada kita akan kah dibiarkan begitu saja? Ciptakan lah suasana seperti kopi yang kira-kira jika tidak ketemu kopi itu pusing. Saya pernah curhat ke teman kalau tidak ngaji itu kok nyaman -nyaman saja? Bagaimana resepnya? Di sisi lain, kalau tidak ngaji dia merasa pusing,” ujar Kiai asal Babakan Ciwaringin itu
Ia mengaku, sampai hari ini pun dirinya masih belajar, kira-kira al-Qur’an yang sudah melekat di hati sudah jadi kopi belum?
“Saya sendiri kalau tidak ngopi terasa ada yang hilang, sedangkan jika dari pagi sampai sore belum menyentuh al-Qur’an, belum membaca al-Qur’an apakah betul ada yang hilang atau bisasa saja?,” imbuhnya
Ia mengimbau, jika kopi saja mampu memnjawab, apa lagi al-Qur’an yang notabene kitab suci. “Fenomena kehidupan masing-masing sebenarnya pintu masuknya dari mau mencoba atau tidak, setelah dicoba akan terasa ketagihan,” tuturnya
Lebih lanjut, media seaman Qur’an yang sudah rutin ini kira-kira bukan hanya momentum menyentuh al-Qur’an di hari minggu saja, namun pendekatan sentuhan Qur’an ini dapat dilakukan di hari lainnya.
Sementara, dalam kesempatan yang sama, KH. Lukman Hakim mengilustrasikannya dengan rotan. “Saya mengambil inspirasi dari rotan, rotan itu tanaman yang biasanya tumbuh di hutan belantara, dia nyaris menjadi tanaman yang sekan menjadi semak belukar. Untuk bisa mendapatkanya pun harus menuju hutan dan penuh tenaga ekstra,” katanya
Ia menuturkan, rotan yang hari ini mengkilap itu melawati proses dari tangan yang cakap, dan pada akhirnya nilai rotan dari tidak menarik melalui tangan yang cakap ia berdaya jual tinggi.
“Kalau kita ingin belajar dari rotan ini, dari yang tidak menarik kemudian disentuh dengan tangan yang cakap maka ia menjadi nilai yang luar biasa. Hidup itu pilihannya ada di tangan kita, apakah kita ingin lahir dari karya indah berdaya jual tinggi atau kah mau biasa saja?,” ujar Wakil Rais Majelis Ilmi Pimpinan Pusat JQHNU itu
Kita oleh Allah dianugerahi yang nilainya lebih dari rotan itu, kata Kiai Lukman, seluruh yang Allah turunkan ke bumi nilainya tidak ada yang melebihi al-Qur’an.
“Kata Imam Zamakhsyari, al-Qur’an itu ‘ajallu wa ‘adhomun ni’am. Jadi Kenikmatan terbesar di muka bumi ini yaitu al-Qur’an. Hanya masalahnya apakah kalau kita sebagai sang creator kira-kira kita menyentuhnya dengan tangan yang cakap atau dengan tangan yang bisasa saja?,” tuturnya
Dalam hal kreasi biasanya ada dua model, lanjut Kiai Lukman, misalnya sama-sama membuat keris tetapi model dari sosok yang berbebda, yakni orang pandai besi dan empu. Ia Sama-sama membuat keris tetapi yang dibuat oileh sang empu itu kenapa nilainya lebih?
“Pandai besi menjadikan keris dari bahan baku baja dengan tangan yang cakap melahirkan nilai luar biasa. Tetapi ada lagi yang dibuat dari sang empu, dia tidak hanya mengandalkan kompetensi kecakapannya saja, tetapi diintegrasikan dengan spiritualitas,” imbuhnya
Kiai Lukman menjelaskan, kata guru saya, orang yang menghafal al-Qur’an itu skill. “Jadi, jika menghafal Qur’an lancar itu memang ada kompetensinya, itu dikasih oleh Allah berupa kecakapan. Tetapi akankah nilainya apakah sama dengan empu pembuat keris itu? Atau kah nilainya seperti pandai besi? Semua itu tergantung dari kitanya mau mengintegrasikan al-Qur’an dengan sisi spiritualitas atau tidak,” kata Kiai Lukman
Kiai Lukman mencontohkan, Sama-sama pelaku kompetensi al-Qur’an di Indonesia itu banyak, tetapi kenapa yang ini muncul agung, kenapa yang satunya lagi biasa saja? Contoh, Kiai Munawwir, hari ini sanad Qur’an itu rujukannya ke beliau. Pertanyaannya, kenapa beliau oleh Allah dianugerahi karya al-Qur’annya sangat agung? Sudah puluhan tahun beliau meninggalkan kita, tetapi kalau kita berbicara sanad Qur’an pasti rujukannya ke beliau.
“Jawabannya karena memang beliau disamping kompetensi al-Qura’nnya luar biasa, juga dibarengi dengan spiritualitas. Riyadhoh Qur’annya Kiai Munawwir itu yang belum tentu dapat kita tiru. Riyadhohnya 3 tahun pertama per seminggu sekali khatam al-Qur’an, tidak pernah satu hari pun absen. 3 tahun berikutnya 3 hari sekali khatam, jadi sehari 10 juz. 3 tahun berikutnya per 1 sekali beliau khatam,” tukasnya
Ia memaparkan, kompetensi al-Qura’nnya di atas rata-rata dibarengi lagi dengan spiritualitas yang di atas rata-rata pula, maka wajar jika karya al-Quran’nya begitu luar biasa.
“Contoh lagi Kiai Arwani yang beliau ngaji langsung ke Kiai Munawwir. Beliau itu jika hendak mengaji subuh, siap-siapnya sudah sedari pukul 01:00 dini hari. Dan istiqomah beliau terhadap al-Qur’an semua orang menyaksikan,” ujar Kiai yang akrab disapa Kang Lukman itu
Jadi semua orang hebat itu tidak mengandalkan kompetensinya saja. Ujar Kiai Lukman, jadi jika hari ini kita menghafalnya sudah bagus, bacaannya lancar, itu sebetulnya baru sentuhan kompetensi.
“Jika kita ingin lebih baik, maka ikhtiarnya harus lebih. Maka balik lagi, jika rotan ini proses pembuatannya sembari membaca selawat saya yakin nilainya bakal lebih tinggi. Energi itu lah yang sebenarnya bakal menjadikan luar biasa. Kalau kita dedikasinya ditotalitaskan ke al-Qur’an saya yakin orang itu rizkinya jalurnya dari al-Qur’an dan kemuliaannya dari al-Qur’an,” tandasnya