ADA pilihan bagi orang yang melaksanakan mudik lebaran atau perjalan jauh (musafir), yakni tetap menjalankan puasanya atau membatalkannya.
Namun yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah mengenai mana yang paling utama, tetap menjalankan puasa atau membatalkannya?
Melalui kajian yang bertajuk fikih puasa, tim Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon menyebut bahwa terdapat dua pendapat mengenai mana yang lebih afdhal di antara lanjut puasa atau batal saat mudik.
Pertama, yang paling utama bagi musafir atau pemudik adalah tetap berpuasa. Hal itu seperti yang dijelaskan Imam Abu Hanifah berserta para pengikutnya, Imam Malik, dan Imam Syafii dalam beberapa riwayat dari keduanya.
Baca Juga: Konstipasi atau Sembelit Bisa Membatalkan Puasa? Simak Penjelasan Berikut
Imam Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Tafsir Albahrul Muhith menjelaskan:
وَاخْتَلَفُوا فِي الْأَفْضَلِ ، فَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ ، وَأَصْحَابُهُ ، وَمَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ فِي بَعْضِ مَا رُوِيَ عَنْهُمَا : إِلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ.
“Para ulama berselisih pendapat mengenai hal yang paling utama (bagi musafir, tetap berpuasa atau membatalkannya). Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, imam Malik dan imam Syafii dalam sebagian apa yang diriwayatkan dari keduanya (Imam Malik dan Imam Syafii), mereka berpendapat bahwa berpuasa itu lebih utama.”
Kedua, yang paling utama bagi para pemudik atau musafir adalah tidak melakukan puasa. Hal itu seperti pendapat Imam al-Auza’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq.
وَذَهَبَ الْأَوَزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ إَلَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَل
“Imam al-Auza’i, Ahmad, dan imam Ishaq mereka berpendapat bahwa membatalkan puasa itu lebih utama.”
Sementara itu, Imam Haromain Al-Juwaini mencoba menggabungkan dua pendapat tersebut dan memberikan solusi dalam Nihayatul Mathlab. Ia menjelaskan:
فَالْمُسَافِرُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ وَالصَّوْمُ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِذَا لَمْ يَظْهَرْ ضَرَرٌ.
“Maka musafir bisa memilih antara berpuasa dan tidak. Dan berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya.”
Hal senada juga disampaikan Imam Ibnu Hajar Alhaytami dalam Tuhfah:
وَمَرَّ أَنّهُ إنْ تَضَرًّرَ بِالصَّوْمِ فَالفِطْرُ أَفْضلُ، وَإلَّا فَالصَّوْمُ أًفْضَلُ.
“Dan -sebagaimana keterangan- yang lalu, bahwasanya; jika musafir membahayakan -dirinya- dengan puasa, maka tidak puasa lebih baik. Dan apabila tidak demikian maka puasa lebih baik.”
Wajib mengqadha
Meski ada pendapat para pemudik untuk tidak berpuasa, mereka tetap diwajibkan mengqadhanya di lain waktu. Hal itu sesuai dengan QS. Al-Baqarah: 148. Allah Swt berfirman:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan), itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Imam Abi Syuja’ dalam Taqrib menjelaskan:
وَالْمَرِيْضُ وَالمُسَافِرُ سَفَرًا طَوِيْلًا يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ .
“Orang yang sakit dan orang yang bepergian dengan jarak yang jauh (masafah qashr), maka mereka berdua -boleh- tidak berpuasa dan -WAJIB- mengqadha.” []