NU Cirebon
PUASA di bulan Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Namun, bagaimana hukumnya bagi pekerja berat seperti buruh bangunan, nelayan, dan tukang becak? Apakah mereka diperbolehkan tidak berpuasa?
Dalam kajian fikih, pekerja berat tetap diwajibkan berpuasa, kecuali jika memenuhi enam syarat tertentu. Berdasarkan penjelasan dalam kitab Buhyah Al-Mustarsyidin, seseorang yang bekerja berat tidak boleh serta-merta meninggalkan puasa tanpa alasan yang kuat.
Baca: Dari Indonesia ke Malaysia, Bagaimana Hukum Puasa jika Awal Ramadan Berbeda?
Berikut enam syarat yang harus dipenuhi agar pekerja berat diperbolehkan berbuka puasa:
1. Pekerjaannya tidak bisa ditunda hingga bulan Syawal.
Jika pekerjaan tersebut masih bisa dikerjakan setelah Ramadan, maka tidak ada alasan untuk berbuka.
2. Tidak bisa dikerjakan di malam hari.
Jika masih memungkinkan bekerja di malam hari, maka puasa tetap wajib dilakukan di siang hari.
3. Terjadi kesulitan (masyaqqat) yang serius.
Kesulitan yang dimaksud adalah beban kerja yang sangat berat hingga membahayakan kesehatan atau mengganggu ibadah lainnya.
4. Wajib niat puasa di malam hari dan tetap berpuasa di pagi hari.
Tidak boleh langsung meninggalkan puasa sejak Subuh, tetapi harus berniat dan mencoba berpuasa terlebih dahulu. Jika benar-benar tidak kuat, baru diperbolehkan berbuka.
5. Berbuka dengan niat mencari keringanan hukum (tarakhkhush).
Artinya, seseorang berbuka karena kebutuhan dan bukan sekadar ingin meninggalkan puasa.
6. Tidak menyalahgunakan keringanan.
Seorang pekerja berat tidak boleh menjadikan pekerjaannya sebagai alasan utama untuk selalu berbuka puasa atau membebani diri secara sengaja demi mendapat keringanan tersebut.
Berikut teks lengkap dari Kitab Buhyah Al-Mustarsyidiin halaman 234:
مسألة) : لا يجوز الفطر لنحو الحصاد وجذاذ النخل والحراث إلا إن اجتمعت فيه الشروط. وحاصلها كما يعلم من كلامهم ستة : أن لا يمكن تأخير العمل إلى شوّال ، وأن يتعذر العمل ليلاً ، أو لم يغنه ذلك فيؤدي إلى تلفه أو نقصه نقصاً لا يتغابن به ، وأن يشق عليه الصوم مشقة لا تحتمل عادة بأن تبيح التيمم أو الجلوس في الفرض خلافاً لابن حجر ، وأن ينوي ليلاً ويصبح صائماً فلا يفطر إلا عند وجود العذر ، وأن ينوي الترخص بالفطر ليمتاز الفطر المباح عن غيره ، كمريض أراد الفطر للمرض فلا بد أن ينوي بفطره الرخصة أيضاً ، وأن لا يقصد ذلك العمل وتكليف نفسه لمحض الترخص بالفطر وإلا امتنع ، كمسافر قصد بسفره مجرد الرخصة ، فحيث وجدت هذه الشروط أبيح الفطر ، سواء كان لنفسه أو لغيره وإن لم يتعين ووجد غيره ، وإن فقد شرط أثم إثماً عظيماً ووجب نهيه وتعزيره لما ورد أن : “من أفطر يوماً من رمضان بغير عذر لم يغنه عنه صوم الدهر”.
*Artikel ini merupakan hasil dari program serial Fikih Puasa yang digagas LBM PCNU Kabupaten Cirebon.