NU Cirebon
DALAM Islam, zakat memiliki aturan yang ketat mengenai siapa yang berhak menerimanya. Salah satu kategori yang sering menjadi perdebatan adalah fi sabilillah, yang secara harfiah berarti “di jalan Allah.” Perdebatan ini semakin relevan ketika muncul pertanyaan: Apakah guru ngaji, ustaz, dan kiai dapat dikategorikan sebagai fi sabilillah sehingga berhak menerima zakat?
Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat tertentu dan harus disalurkan kepada delapan golongan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebagian umat Islam meyakini bahwa guru ngaji dan pendakwah juga termasuk dalam kategori fi sabilillah, sementara pendapat lain menegaskan bahwa kategori ini secara khusus ditujukan bagi mereka yang berperang di jalan Allah.
Pendapat mu’tamad dalam Madzhab Syafi’i secara jelas menyatakan bahwa guru ngaji, ustaz, dan kiai tidak boleh menerima zakat fitrah dengan alasan bahwa mereka tidak termasuk dalam kategori fi sabilillah. Dalam kitab I’anat al-Talibin, Syaikh Abu Bakr Syatho menjelaskan:
“وَسَبِيلُ اللَّهِ هُوَ وَضْعًا الطَّرِيقُ الْمُوصِلُ لَهُ تَعَالَى، ثُمَّ كَثُرَ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْجِهَادِ لِأَنَّهُ سَبَبُ الشَّهَادَةِ الْمُوصِلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى، ثُمَّ أُطْلِقَ عَلَى مَا ذُكِرَ مَجَازًا لِأَنَّهُمْ جَاهَدُوا.”
“Fi sabilillah secara bahasa berarti jalan yang mengantarkan kepada Allah, tetapi dalam penggunaannya lebih sering merujuk pada jihad karena jihad adalah sebab yang membawa seseorang kepada Allah. Kemudian istilah ini digunakan secara kiasan untuk mereka yang berjihad.”
Baca: Alat Pembayaran Zakat Fitrah dan Besarannya
Dari penjelasan ini, ulama Syafi’iyah memahami bahwa kategori fi sabilillah secara spesifik merujuk pada mereka yang terlibat dalam jihad perang, bukan profesi lain seperti guru ngaji atau pendakwah.
Namun, terdapat ulama yang menafsirkan fi sabilillah dengan makna yang lebih luas. Mereka berpendapat bahwa perjuangan di jalan Allah tidak terbatas pada peperangan, tetapi juga meliputi upaya dakwah, pendidikan Islam, dan pelayanan umat.
Pendapat ini dikutip oleh beberapa ulama besar, di antaranya Imam Abu Bakar Assyasyi dalam Tafsir Kabir, Imam Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, serta Syaikh Mahmud Syaltout dalam kitab Al-Islam. Dalam Tafsir Munir, Syekh Nawawi Banten menjelaskan:
“أَنَّهُمْ أَجَاؤُوا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيعَ وُجُوهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِينِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُونِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى فِي سَبِيلِ اللهِ عَامٌ فِي الكُلِّ.”
“Sebagian ulama memperluas makna fi sabilillah sehingga mencakup semua bentuk kebaikan, seperti penyelenggaraan jenazah, pembangunan benteng, serta perawatan masjid, karena firman Allah tentang fi sabilillah bersifat umum.”
Pendapat yang lebih luas ini juga diikuti oleh sebagian ulama Madzhab Maliki, seperti yang dijelaskan dalam Mawahibul Jalil oleh Imam Muhammad bin Muhammad Al-Khattab Arru’aini:
“وظاهر كلام ابن الحاجب إجازة جميع ذلك. لأنه قال: ومصرفها كا الزكاة. أي فصرف في الأصناف الثمانية.”
“Tampaknya Ibn Hajib membolehkan semua hal tersebut karena ia mengatakan bahwa penggunaannya seperti zakat, yaitu disalurkan kepada delapan golongan.”
Pendapat ini bahkan menjadi fatwa resmi Darul Ifta’ Al-Mishriyyah (Lembaga Fatwa Mesir), yang mengizinkan penggunaan zakat untuk mendukung aktivitas keagamaan dan pendidikan Islam.
Mengingat adanya perbedaan pendapat, masyarakat Muslim disarankan untuk mengikuti fatwa otoritas keagamaan yang berlaku di wilayah masing-masing. Di Indonesia, lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dapat menjadi rujukan dalam menentukan apakah guru ngaji, ustadz, dan kyai dapat menerima zakat.
Sebagai umat Islam, memahami hukum zakat dengan benar sangat penting agar ibadah yang dilakukan sah dan sesuai dengan tuntunan syariat. Jika masih ragu, berkonsultasi dengan ulama setempat atau otoritas keagamaan yang terpercaya adalah langkah bijak.
Tips menyalurkan zakat dengan benar
1. Pastikan penerima zakat termasuk dalam delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Jika masih ragu, tanyakan kepada lembaga zakat resmi.
2. Gunakan lembaga amil zakat terpercaya agar penyaluran lebih efektif dan tepat sasaran.
3. Jika ingin memberikan kepada guru ngaji atau ustadz, pastikan ada fatwa atau regulasi yang membolehkannya.
4. Pahami pendapat ulama yang berlaku di wilayah tempat tinggal dan ikuti ketetapan otoritas keagamaan setempat.
5. Niatkan zakat dengan ikhlas agar mendapat keberkahan dan diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah Swt.[]
Wallahu A’lam….
*Artikel ini merupakan hasil dari program serial Fikih Puasa yang digagas LBM PCNU Kabupaten Cirebon.
Ikuti saluran WhatsApp NU Cirebon untuk mendapatkan update artikel menarik lainnya.