NU Cirebon
Setiap ayat Al-Qur’an tak lahir begitu saja. Ia turun karena sebuah kejadian, kegelisahan, atau bahkan konflik sosial-politik yang mengguncang umat di zamannya.
Surat At-Taubah, misalnya, adalah salah satu surat dengan latar historis yang padat dan rumit. Ayat 122 menjadi salah satu titik penting tentang bagaimana kita memahami peran ilmu dalam keberagamaan.
Konteks ayat ini sebenarnya cukup politis: pada masa itu, sebagian sahabat Nabi memutuskan untuk tidak ikut ke medan perang. Mereka tinggal di daerah pedalaman Badui, sibuk mengajar agama. Pilihan ini mengundang komentar sinis dari orang-orang munafik, yang menganggap mereka pengecut dan tak ikut berjuang. Tapi kemudian turunlah ayat ini, seperti teguran sekaligus klarifikasi dari langit:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi sebagian dari setiap golongan untuk memperdalam ilmu agama dan memberi peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali, agar mereka dapat menjaga diri.” (Q.S. At-Taubah: 122)
Jadi, siapa sebenarnya yang sedang berjihad? Mereka yang mengangkat pedang? Atau mereka yang mengangkat pena dan membuka kitab?
Menurut riwayat dari Ibnu Abu Hatim, ayat ini diturunkan sebagai respons atas situasi di mana semua orang ingin ikut perang. Nabi Muhammad bahkan sempat ditinggal oleh para sahabat yang terburu-buru pergi ke medan jihad, meninggalkan Madinah nyaris tanpa pendamping.
Hasrat jihad begitu membara sampai lupa bahwa menjaga dan menyebarkan ilmu agama juga bagian dari perjuangan. Maka, Allah sendiri yang menegaskan: tidak semua orang harus pergi berperang. Sebagian harus tinggal. Fokus belajar. Mendalami ajaran. Lalu menyebarkannya.
Karena menuntut ilmu bukan sekadar kegiatan belajar di ruang kelas atau halaqah pengajian. Ia adalah bagian dari jihad yang tak kalah besar nilainya. Bahkan Rasulullah menyandingkan tinta ulama dengan darah para syuhada.
Kedua amal tersebut ditimbang di hari kiamat kelak. Dan tak ada satu pun yang lebih berat selain yang dijalani dengan ikhlas dan untuk kebaikan umat.
يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء
“Tinta para ulama akan ditimbang bersama darah para syuhada.”
Menjadi muslim berarti menempuh tiga jalan sekaligus: belajar, mengamalkan, dan mengajarkan. Tidak semua bisa pergi ke medan perang, tidak semua bisa tinggal untuk belajar, tapi semua punya kewajiban sesuai kemampuannya.
Menuntut ilmu adalah tugas kolektif. Ketika sebagian umat terlibat di medan ekonomi—berjualan, bertani, bekerja di pabrik—maka sebagian lain harus punya keberanian untuk mendalami ajaran agama. Agar ketika kembali ke masyarakat, mereka tak sekadar menjadi pemilik pengetahuan, tapi juga penyalur cahaya—penerang bagi umat.
Satu ayat saja, kata Nabi, sudah cukup untuk disampaikan. Satu ayat, tapi sungguh berarti kalau benar-benar dipahami dan diamalkan.
بلغوا عني ولو آية
“Sampaikan dariku walaupun satu ayat.”
Ilmu agama memang titik tekan dari ayat ini. Tapi bukan berarti ilmu lain tak penting. Selama membawa manfaat, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama, semua pengetahuan—sains, teknologi, seni, kebudayaan—adalah bagian dari ibadah. Karena tugas manusia bukan cuma menjadi hamba, tapi juga khalifah: memakmurkan bumi, menciptakan kehidupan yang lebih layak, lebih adil, lebih bermartabat.
Dan di zaman seperti sekarang, jihad itu bisa berbentuk banyak hal. Bisa lewat tulisan yang menggugah nurani. Bisa lewat pengajaran yang membuka cakrawala. Bisa lewat advokasi, riset, pelayanan publik, atau bahkan lewat kerja-kerja rumah tangga yang tulus dan tidak terlihat.
Jadi, tidak semua orang harus ikut perang. Tapi semua orang bertanggung jawab untuk belajar dan mengajarkan. Karena pada akhirnya, perjuangan tidak selalu tentang mengangkat senjata. Kadang ia berwujud buku, suara, atau niat yang tak banyak bicara, tapi terus bekerja.