NU Cirebon
Cirebon – Fatayat NU Kabupaten Cirebon menegaskan sikap tegasnya dalam menolak praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan. Penegasan ini disampaikan melalui kegiatan sosialisasi dan orientasi yang digelar bersama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Gedung NU Center, Kabupaten Cirebon, pada Rabu–Kamis, 5–6 November 2025.
Agenda tersebut menjadi momentum memperkuat gerakan bersama untuk mengakhiri praktik yang dianggap merugikan kesehatan fisik dan mental perempuan. Kegiatan dua hari itu menjadi bagian dari kerja sama nasional antara PP Fatayat NU dan Kementerian Kesehatan RI guna meningkatkan kesadaran publik terkait bahaya P2GP.
Pesertanya berasal dari lintas lembaga, mulai dari perwakilan Kemenkes RI, PW dan PP Fatayat NU Jawa Barat, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Cirebon, DP3AKB, Bappelitbangda, Kemenag, MUI, dan Polresta Cirebon. Organisasi perempuan seperti Muslimat NU, GOW, hingga PKK Kabupaten Cirebon juga turut hadir bersama lebih dari seratus kader dan pengurus Fatayat NU dari berbagai kecamatan.
Ketua Umum PP Fatayat NU, Hj. Margaret Aliyatul Maimunah, M.Si., menegaskan kembali bahwa sunat perempuan tidak memiliki manfaat medis dan justru menimbulkan risiko kesehatan. Ia menyampaikan, Fatayat NU berkomitmen untuk terus melakukan edukasi dan kampanye pencegahan sunat perempuan. “Kita ingin mengingatkan bahwa membesarkan anak perempuan adalah dengan cinta, bukan dengan luka,” ungkapnya.
Dari sisi kebijakan, perwakilan Kementerian Kesehatan RI, dr. Tyas Natasya Citrawati, M.KM., menjelaskan bahwa pemerintah telah mengeluarkan aturan tegas melalui Permenkes Nomor 2 Tahun 2025 yang melarang praktik sunat perempuan dalam layanan kesehatan reproduksi.
“Kebijakan ini diharapkan menjadi landasan kuat untuk menekan praktik yang masih banyak dilakukan atas dasar tradisi,” jelasnya.
Perspektif keagamaan juga mengemuka melalui KH. Aziz Hakim Syaerozi, Pengasuh Pesantren Babakan Ciwaringin sekaligus Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon. Ia menyampaikan bahwa praktik P2GP tidak memiliki landasan syariat.
“Dalam pandangan fikih, setiap tindakan yang menyakiti tubuh tanpa manfaat adalah perbuatan yang dilarang. Tidak ada kewajiban agama untuk menyunat perempuan. Justru Islam menekankan penghormatan terhadap tubuh perempuan sebagai bagian dari menjaga martabat dan kesehatan,” ungkap Kiai Aziz.
Pada hari pertama, kegiatan berfokus pada sosialisasi dan penandatanganan komitmen bersama lintas sektor. Fatayat NU Kabupaten dan Kota Cirebon turut memaparkan hasil asesmen lapangan. Dari lebih dari 300 responden, sekitar 48–50 persen masih menyetujui sunat perempuan karena alasan tradisi dan kurangnya informasi. Meski begitu, survei menunjukkan adanya peningkatan pemahaman baru bahwa praktik tersebut tidak memiliki dalil agama maupun manfaat medis.
Hari kedua berlangsung dengan sesi orientasi P2GP dari perspektif kesehatan dan keagamaan. dr. Maria Listiawati selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon memaparkan risiko medis yang dapat muncul dari praktik P2GP.
Sementara KH. Marzuki Wahid, M.A., memberikan penjelasan fikih mengenai perlindungan tubuh perempuan dari tindakan yang membahayakan. Peserta kemudian berdiskusi untuk merumuskan strategi edukasi yang dapat diterapkan langsung di tingkat masyarakat.
Ketua PC Fatayat NU Kabupaten Cirebon, Roziqoh, M.Pd., menilai kegiatan ini sebagai langkah penting memperkuat jaringan kerja lintas sektor.
“Kami berharap kolaborasi antara Fatayat, Kemenkes, dan berbagai pihak di daerah dapat memperluas edukasi dan menghentikan praktik P2GP yang masih terjadi di sebagian masyarakat,” jelasnya.
Kegiatan ditutup dengan seruan bersama agar seluruh elemen masyarakat, tokoh agama dan tenaga kesehatan turut aktif menyebarkan pemahaman yang benar terkait P2GP. Fatayat NU menegaskan bahwa upaya pencegahan ini merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, adil, dan menghormati martabat perempuan dan anak di Kabupaten Cirebon.





