Oleh: Ahmad Faiz Rofi’I *)
Islam Nusantara atau kini disebut dengan Islam di Indonesia memiliki khazanah institusi atau lembaga pendidikan yang inovatif, komprehensif, dan integratif. Sebut saja lembaga pendidikan Islam Pesantren. Siapa yang tak kenal dengan lembaga satu ini. Pesantren atau Pondok merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisonal tertua di Indonesia hingga sampai saat ini masih bertahan. Pesantren adalah salah satu dari sekian banyaknya warisan budaya Islam Nusantara yang menjadi tempat favorit untuk menimba ilmu agama Islam bagi semua kalangan. Nusantara atau kini telah menjadi sebuah negara besar bernama Indonesia mempunyai perjalanan sejarah cukup panjang dalam proses akulturasi budaya Islam.
Asal Usul Pesantren
Nurcholish Madjid dalam bukunya berjudul “Bilik-bilik Pesantren”, menyebutkan bahwa Pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “Pesantren” mengadung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Kata “Santri” berarti “melek huruf”, atau dari bahasa jawa “cantrik” yang mempunyai arti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur yaitu santri, kiai, dan pondok (asrama). (Madjid, :1997: 67).
Mengenai awal kemunculan Pesantren terdapat berbagai pandangan seperti dalam Buku “Dinamika Pesantren dan Madrasah” yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud, ia berpandangan bahwa keberadaan Pesantren tidak lepas dari peran Wali Songo, figur penyebar Islam di Jawa (Mas’ud, 2002: 4). Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Wali Songo adalah founding father Pesantren dan Islam di Indonesia khususnya di wilayah Jawa.
Pesantren adalah salah satu media dakwah akulturatif Wali Songo terhadap tradisi serta budaya lokal yang pada saat itu sudah berkembang. Wali songo mampu memikat hati masyarakat pribumi tanpa meninggalkan dan menghapus warisan budaya dan tradisi setempat. Keberadaan Pesantren sebagai media dakwah sekaligus proses pembelajararan ilmu agama menjadi sejarah tersendiri dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Sehingga pesantren dikenal sebagai sistem pendidikan original yang telah membentuk keberagaman masyarakat Indonesia yang ramah, toleran dan pluralistik. Dalam hal ini Pesantren telah berhasil mempertahankan warna kemoderatannya, yakni sikap mengambil jalan tengah dalam segala dimensi kehidupan keberagaman yang sangat selaras dengan watak dan karakteristik umat Islam di Nusantara, yang fleksibel, toleran dan terbuka dalam menerima dan menyikapi segala perbedaan tradisi, pandangan serta keyakinan. Sehingga melahirkan kearifan lokal serta corak dan warna Islam Nusantara yang khas. Kini Islam di Nusantara atau di Indonesia telah banyak melahirkan warisan peradaban sebagai harta peninggalan yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai bentuk otentik betapa Islam telah ikut serta memberi corak dan warna bagi kemajuan peradaban Islam di Indonesia.Seperti Masjid atau surau, Ulama-ulama terkemuka beserta maha karya berupa kitab klasik dan lain sebagainya.
Pesantren Bukanlah Keterbelakangan Pendidikan
Dalam perjalanan bangsa Indonesia pesantren memainkan perannya sebagai Bapak pendidikan yang telah banyak berkontribusi atas penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Selain itu juga pesantren telah banyak berkontribusi dalam perjuangan maupun mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada masa modern pesantren telah berperan aktif dalam proses pembangunan karakter serta masih eksis dan menempati posisi yang sangat penting di Indonesia. Pada dasarnya pesantren tetap menjaga peranannya sebagai media dakwah lembaga pendidikan Islam Tradisional yang utuh serta menyeluruh dalam rangka memajukan pembangunan di Indonesia. Pondok Pesantren sebagai sarana pendidikan Islam sekaligus menjadi pusat pengetahuan nilai-nilai keislaman bagi masyarakat,berupaya menjaga dan melestariakan peradaban yang sudah lama muncul.
Belakangan ini undang-undang mengenai pesantren sudah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam hal ini pesantren mempunyai fungsi strategis dalam membangun karakter bangsa Indonesia yang ramah, toleran dan pluralistik.Ketika sistem pendidikan Tradisional seperti Pesantren sudah mulai terkikis oleh zaman akibat sistem pendidikan bangsa barat sudah dikenalkan, terdapat pandangan bahwa itu lebih baik dari pesantren. Apabila bangsa Indonesia dan kaum Muslim ingin maju, maka harus mengambil sistem barat dan meninggalkan Pesantren karena tidak akan mampu bersaing dengan keunggulan sistem dari bangsa barat. Pandangan semacam ini otomatis menimbulkan reaksi keras dari kaum Pesantren serta kaum muslimin yang selama ini berpendapat bahwa Pesantren adalah kiblatnya Ilmu Agama di Nusantara. Meskipun terdapat kelemahan akan tetapi Pesantren mempunyai keunikan serta ciri khas maupun kelebihan yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan manapun termasuk barat. Abdul Muchit Muzadi dalam buku “NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran”, mengemukakan bahwa segala kelemahan dalam Pesantren harus diperbaiki, tidak dengan meninggalkannya.Meninggalkan Pesantren berarti mengingkari unsur positif dan jasa-jasa Pesantren serta meninggalkan sekian juta kaum Pesantren dalam keterbelakangan. (Muzadi, 4-5: 2006). Oleh sebab itu, Pesantren bukanlah salah satu keterbelakangan pendidikan melainkan hasil dan proses peradaban yang sampai saat ini masih di percayai oleh khalayak Umum.Selain itu, Pesantren kini sudah mulai memperbaiki, membenahi, dan memasukkan unsur-unsur positif dari sistem dan metode pendidikan baru tanpa menghilangkan jati diri kepesantrenannya. Sudah barang tentu pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam terpercaya patut diapresiasi sekaligus patut untuk dipertahankan dan dilestarikan sebagai warisan peradaban Islam Nusantara.
Referensi:
Muchit Muzadi, Abdul, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (Refleksi 65 Tahun Ikut NU, (Surabaya: Khalista, 2006).
Mas’ud, Abdurrahman, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
Majdid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997).
Semarang, 25 September 2019.
Ditulis setelah keputusan UU Pesantren yang di sahkan oleh DPR-RI pada 24 September 2019.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang