NU Cirebon
Syekh Abdul Qodir Aljilani dalam kitab Misbahul Ashfiya Fimanaqi Sulthonil Auliya menjelaskan, orang yang hebat adalah orang mampu merubah takdirnya dengan mengoptimalkan usahanya.
ليس الرجل الذي يسلم للأقدار وانما الرجل الذي يدفع الأقدار بالأقدار (مصباح الأصفياء في مناقب سلطان الأولياء)
” Laki-laki hebat bukanlah pribadi yang pasrah pada takdir, akan tepai ia yang dapat merubah takdir buruk menjadi lebih baik.”
Hal itu sejalan dengan Surat Ar-Ra’du ayat 11. Ayat tersebut telah lama menjadi landasan utama dalam perbincangan teologis dan filsafati mengenai takdir, kebebasan kehendak, serta tanggung jawab manusia terhadap perjalanan hidupnya.
Dalam kerangka pemikiran tasawuf falsafi, ayat ini tidak hanya dipahami sebagai pernyataan normatif keagamaan, tetapi sebagai ajakan mendalam bagi manusia untuk aktif berperan dalam alur hidupnya sendiri.
Ikhtiar sebagai Kewajiban: Jalan Menuju Kesempurnaan Manusia
Menurut sudut pandang tasawuf falsafi, manusia bukanlah makhluk yang hanya bersikap menunggu tanpa usaha di bawah bayang-bayang takdir. Sebaliknya, ia adalah hayawanun nathiq—makhluk berakal dan memiliki kebebasan untuk menentukan serta mengusahakan nasibnya.
Dalam konteks ini, ikhtiar tidak hanya dilihat sebagai pilihan moral, melainkan juga sebagai tuntutan eksistensial dan spiritual. Para pemikir sufi-filosof seperti Ibn Arabi dan Mulla Sadra menegaskan bahwa manusia, sebagai pancaran dari Al-Wujud al-Mutlaq (Keberadaan Absolut), dibekali potensi untuk kembali menuju kesempurnaan Ilahi melalui amal saleh, pencarian ilmu, dan penyucian batin.
Dalam perspektif mereka, tidak mungkin seseorang meraih kedekatan dengan Tuhan tanpa proses perjuangan dan pengorbanan. Bahkan, stagnasi spiritual kerap bersumber dari kelalaian manusia dalam menjalankan ikhtiar.
Pandangan fatalistik yang memposisikan takdir sebagai garis hidup yang tidak bisa diubah, tidak sejalan dengan ajaran tasawuf falsafi. Aliran ini justru mengajarkan bahwa takdir memiliki dua bentuk: qadha mubram yang bersifat tetap, dan qadha mu’allaq yang terbuka untuk berubah tergantung pada tindakan manusia.
Dalam pengertian ini, manusia diberi ruang oleh Tuhan untuk bereaksi, memperbaiki, dan bahkan mengatasi kondisi hidup yang tampak telah ditetapkan. Perubahan dalam takdir bukan berarti menandingi kehendak Tuhan, melainkan merupakan wujud nyata dari interaksi manusia dalam rencana Ilahi yang penuh dinamika.
Al-Ghazali memandang bahwa kehendak Tuhan berkaitan (ta’alluq) dengan keadaan hati dan tindakan manusia. Ketika seseorang mengubah dirinya secara mendalam, ia sejatinya sedang menyentuh sisi metafisik dari sistem ketentuan Ilahi itu sendiri.
Kepasrahan Bukan Jalan Kebesaran
Tunduk secara pasif terhadap nasib, meski sering dibalut dengan kesan religius, dalam tasawuf falsafi dipandang sebagai bentuk kelalaian spiritual. Sosok manusia yang unggul bukanlah dia yang menyerah pada keadaan dan hanya menanti keajaiban, tetapi mereka yang memahami perannya sebagai khalifah fi al-ardh.
Kepasrahan tanpa tindakan justru akan membekukan perkembangan jiwa dan kemajuan sosial. Tawakkal bukan berarti menyerah sebelum berusaha, melainkan menyerahkan hasil kepada Tuhan setelah segala upaya dilakukan.
Individu yang mampu mengangkat dirinya dari nasib buruk menuju keadaan yang lebih baik, sejatinya sedang mewujudkan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Ia tidak sekadar menjalani hidup sebagai rutinitas, tetapi juga menanamkan makna yang lebih tinggi pada keberadaannya.
Konsep ini dalam tasawuf dikenal sebagai tajalli—yakni penampakan sifat Ilahi melalui amal dan kesadaran manusia. Saat seseorang membalikkan keadaannya dari kejatuhan menuju pencerahan, ia sejatinya sedang memancarkan cahaya Ilahi melalui tekad, ilmu, dan usaha.
Inilah wujud insan kamil—manusia paripurna yang menjadi cita-cita tertinggi dalam perjalanan spiritual. Ia bukan lagi sekadar makhluk yang mengikuti arus, tetapi penggerak yang ikut serta dalam kehendak Tuhan yang menyeluruh.