Oleh: Falihin Barakati
“Kalau anda tidak ingin dibatasi, janganlah anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing-masing.” (Gus Dur)
Kalimat yang dikeluarkan oleh salah seorang guru bangsa kita, Gus Dur di atas memberi pesan bahwa dalam sebuah kebebasan mesti ada batasan, tak terkecuali kebebasan berpendapat. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, tentu kebebasan berpendapat menjadi hak yang dilindungi oleh konstitusi. Tetapi jika kebebasan berpendapat dimaknai sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam menyampaikan ide, gagasan dan pikiran di publik, maka kebebasan berpendapat akan menjadi bumerang bagi negara, yang salah satunya adalah maraknya ujaran kebencian atau biasa disebut hate speech yang bisa menimbulkan sikap intoleran. Jika sikap intoleran tumbuh di Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk dan plural baik dari segi kultur, etnis, budaya serta agama maka bisa mengancam integritas dan keutuhan bangsa.
Semenjak terbukanya keran demokrasi pascareformasi 1998, gelombang demokratisasi tak mampu dikontrol dan dibendung. Masyarakat seperti terkejut akan lahirnya demokratisasi yang begitu menjunjung tinggi kebebasan masyarakat baik dalam berserikat dan berpendapat. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh trauma panjang selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan membatasi peran demokrasi masyarakat salah satunya kebebasan berpendapat. Namun dilain sisi, kebebasan berpendapat kini cenderung ditafsirkan kebebasan berpendapat yang sebebas-bebasnya sehingga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok garis keras (radikalisme dan ekstremisme) untuk merongrong bangsa lewat profokasi, agitasi dan propaganda dengan ide, gagasan atau pendapat mereka yang bisa melahirkan sikap intoleran.
Kebebasan berpendapat yang sebebas-bebasnya makin menjadi-jadi di era globalisasi saat ini. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi informasi yang begitu cepat. Sarana dalam menyampaikan pendapat tersedia bebas dan terbuka bagi khalayak. Maka tak heran keadaan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok garis keras untuk mengampanyekan dan menyebar luaskan pahamnya yang radikal dan ekstrem tanpa mempertimbangkan nilai-nilai toleransi.
Hal ini juga dijelaskan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj. Menurutnya, perkembangan teknologi informasi yang melahirkan situs internet dan media sosial dimanfaatkan betul oleh kelompok radikal untuk menyebarluaskan pengaruhnya. Salah satu pengaruh radikalisme yang bisa dirasakan saat ini adalah gejala menurunnya toleransi beragama di Indonesia, sesuatu yang dapat meretakkan konstruksi NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika (tirto.id).
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka kebebasan berpendapat dalam hubungannya dengan toleransi menjadi dilema. Antara kebebasan berpendapat dan toleransi. Negara menjamin kebebasan bependapat tetapi di lain sisi negara juga harus menjaga kehidupan yang toleran dalam masyarakatnya.
Menurut hemat penulis, konsep kebebasan berpendapat di Indonesia mesti disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Kebebasan berpendapat yang tetap mempertimbangkan toleransi di tengah perbedaan masyarakat, baik perbedaan suku, agama, ras maupun perbedaan golongan. Ide, gagasan dan pemikiran yang dikeluarkan dan disebarluaskan semaksimal mungkin tidak menyinggung SARA dengan menyampaikan ujaran kebencian (hate speech). Maka menjadi benar pernyataan Gus Dur di awal tulisan ini, bahwa “Kalau anda tidak ingin dibatasi, janganlah anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing – masing”. Membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk membatasi diri masing-masing dalam berpendapat.
Selain itu juga, kehadiran negara juga penting dalam mengawasi kebebasan berpendapat. Negara telah menjamin kebebasan berpendapat, maka konsekuensinya negara pun harus hadir dalam pengaturan dan pengawasannya. Seperangkat aturan hukum yang mengatur kebebasan berpendapat mesti dijalankan setegas-tegasnya. Tetapi negara juga jangan hadir secara otoriter dalam mengawasi dan mengontrol kebebasan berpendapat, mengingat trauma Orde Baru masih menghantui publik. Tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam momentum Hari Toleransi se-Dunia 16 November 2017, untuk kita tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan pemikiran dan sikap toleran. Tantangan bangsa saat ini menjadi besar mengingat arus globalisasi yang begitu deras tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif.
Salah satu dampak negatif yang saat ini sudah menampakkan tanda-tanda adalah masuk dan berkembangnya paham-paham radikal dan ekstrem dari luar bangsa Indonesia yang bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Mempengaruhi dengan pemikiran radikal dan ekstrem, bahkan mengatasnamakan agama serta mengajak bertindak dengan sikap intoleran melaui teknologi informasi baik internet atau media sosial.
Selamat Hari Toleransi se-Dunia. Tetap toleran dalam berpendapat dan bertindak.
Penulis adalah Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulawesi Tenggara dan Tulisan Ini Disadur dari NU Online