Oleh: Ayub Al Ansori *)
Suatu pagi tahun 2015 sekira pukul 08.00 WIB penulis sengaja berkunjung ke rumah salah seorang pendiri IPNU Cirebon bersama seorang rekan. Bersama naik motor, dari kejauhan, belum juga kaki menginjak tanah, sudah terlihat sosok yang sudah berumur 80-an tahun sedang asyik membaca koran pagi di sebuah kursi kayu. Memang begitulah kebiasaan tiap pagi orang yang bernama Ibrahim Rozi itu. Kami biasa memanggilnya Pak Ib. Ya, KH Ibrahim Rozi, beliaulah pendiri IPNU Cirebon. Sosok yang selalu ingin disebut Aktifis NU sampai mati. Begitu kira-kira Pak Ib bilang pada kami suatu hari dikesempatan lain saat berkunjung.
Setiap kali penulis silaturahmi selalu saja disambut dengan ramah. Sudah barang tentu beliau selalu menanyakan kabar penulis dan tentu kabar perkembangan organisasi yang beliau dirikan, IPNU. Meski usia sudah tidak lagi muda, kalau urusan ngobrol IPNU beliau selalu terlihat semangat. Tentunya beliau akan berpikir keras mengingat masa-masa perjuangannya dulu. Matanya terpejam dan kepala tertunduk, sesekali menghadap ke atas. Kalau beliau ingat, mesti diceritakan. Sebaliknya kalau beliau lupa, mesti beliau bilang “saya lupa,”. Justru saat-saat seperti inilah yang penulis tunggu. Berharap Pak Ib ingat. Kalau ingat tentu saja banyak cerita yang keluar dari beliau. Sudah tentu penulis akan seksama memperhatikan bila perlu mencatatnya. “Dulu,”. Satu kata, tanda beliau masih ingat kejadiannya, selanjutnya beliau akan mulai bercerita.
Berdirinya IPNU di Cirebon tidak lepas dari sejarahnya yang berawal dari dihelatnya Muktamar (sekarang Kongres) ke-III IPNU di Kota Udang. Tahun 1958 merupakan tahun bersejarah di Cirebon, bukan saja karena Muktamar III IPNU digelar di Cirebon, namun juga menjadi tempat bagi embrio berdirinya PMII. Pak Ib menceritakan, Muktamar tersebut di gelar di Gedung Bioskop, yang sekarang menjadi Pasar Balong Kota Cirebon, dan di Balai Tentara. Dalam buku Kaum Muda dalam Lintas Sejarah “50 Tahun Pergulatan dan Kiprah IPNU dalam Mengabdi Ibu Pertiwi” yang ditulis Asrorun Ni’am Sholeh disebutkan pada tanggal 27 Desember 1958, pukul 20.00 WIB, bertempat di Gedung Paradise Theatre (Bioskop), pembukaan Muktamar IPNU III dilangsungkan. Paradise Theatre yang waktu itu merupakan gedung termegah di Cirebon tidak mampu menampung para pengunjung. Dalam buku tersebut juga dituliskan bahwa para tokoh yang tampak hadir antara lain, Menteri Agama, H. Moh Ilyas; KH. Abdul Wahab Chasbullah; KH. Bisri Syansuri; KH. Syukri, dan tokoh NU lainnya.
Menurut Pak Ib, peserta Muktamar saat itu menginap di rumah-rumah warga dan hotel di sekitar Cirebon. Banyak kegiatan dihelat, dari apel pelajar sampai pekan olahraga pelajar se-Indonesia. Kalau urusan sidang-sidang sudah tentu menjadi perkara wajib. “Semacam menyusun aturan-aturan organisasi,” kata Pak Ib kepada penulis.
Pak Ib sendiri menghadiri Muktamar III IPNU pada tanggal 27 – 31 Desember 1958, tapi ada juga yang bilang sampai tanggal 2 Januari 1959 karena masih ada POR. Saat itu beliau sebagai utusan dari PW IPNU Yogyakarta. Yang menarik, beliau menjelaskan, selain membahas soal krisis politik dan ekonomi nasional, pengembangan cabang IPNU masih menjadi prioritas bahasan. Kongres ini juga kembali memilih Rekan Tolhah Manshur sebagai Ketua Umum PP IPNU. Tidak hanya itu, Ibrahim Rozi juga menjadi saksi sejarah bahwa dalam Muktamar ini betapa keinginan kuat mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan ditubuh NU begitu tinggi, sehingga muncul gagasan pembentukan departemen perguruan tinggi IPNU sebagai embrio PMII. “Di Muktamar Cirebon lah urusan kemahasiswaan tersalurkan lewat Departemen Perguruan Tinggi IPNU,” ungkap Pak Ib.
Kongres IPNU di Cirebon juga terjadi pada tahun 1981 pada masa kepengurusan Ketua Umum Tosari Wijaya yaitu Kongres IX IPNU. Kongres IX yang direncanakan berlangsung selama empat hari tersebut dilangsungkan pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1981 pukul 20.30 WIB di Asrama PHI Cirebon. Hadir dalam kongres ini antara lain Prof. Dr. KH. Tolhah Manshur (Ketua Umum pertama IPNU) dan H. Mahbub Djunaidi (Ketua Umum pertama PMII). Dari PBNU hadir KH Yunus Umar, Ny. Hj. Wachid Hasyim, dan Prof. H.M. Said Budairi (pendiri IPNU sekaligus deklarator berdirinya PMII).
Dalam buku Kaum Muda dalam Lintas Sejarah, Asrorun Ni’am Sholeh menuliskan, kongres ini menghasilkan berbagai keputusan penting. Sidang komisi A menyepakati perlunya sanksi bagi pelanggar PD/PRT dan anak NU yang tidak sekolah diperbolehkan aktif di IPNU dengan status anggota. Sementara Komisi B menyepakati konspe PP IPNU menyangkut pola program organisasi, penguatan pelatihan, dan pengesahan pedoman pengkaderan, serta pengukuhan hasil Lokakarya bidang Dakwah. Pada kongres ini terpilih Rekan Ahsin Zaidi sebagai Ketua Umum PP IPNU. Secara umum saat itu konstalasi politik memang sedang tidak kondusif bagi kehidupan organisasi kepemudaan. Pemerintah orde baru memandang dinamisasi kaum muda Indonesia, terutama dalam berorganisasi, disikapi sebagai ancaman terselubung bagi eksistensi kekuasaan.
Besok lusa. Hari Jumat sampai Senin tanggal 21-24 Desember 2018, Kongres IPNU akan kembali digelar di Cirebon, tepatnya di Pondok Pesantren KHAS Kempek. Ini merupakan sejarah baru bagi IPNU, khususnya IPNU Kabupaten Cirebon. Momen ini harus dimanfaatkan betul oleh kader-kader IPNU.
Untuk menorehkan sejarah, dalam kerangka itu, IPNU seperti pabrik yang menghasilkan banyak produk yang beragam. IPNU adalah ruang besar yang telah menjadi arena penempaan diri, pengasahan diri, dan aktualisasi diri yang sangat menentukan langkah dan kesuksesan kader-kadernya. Dengan kata yang lebih singkat, ia telah mencetak kita semua sebagai generasi pemimpin peradaban bangsa. Peran ini sejalan dengan cita-cita Nahdlatul Ulama dan cita-cita IPNU didirikan, yaitu menjadi wadah kaderisasi pelajar untuk menyiapkan generasi pemimpin masa depan.
Potensi kader itu tidak datang tiba-tiba melainkan melalui kerja panjang proses kaderisasi. Dalam hal ini kaderisasi dipahami sebagai sebuah instrumen untuk menyiapkan kader dalam rangka melakukan regenerasi dalam berbagai lini kehidupan. Karenanya, kaderisasi merupakan suatu proses yang dimulai dari rekrutmen, pendidikan, pengembangan hingga distribusi kader. Artinya, kerja kaderisasi harus dipahami sebagai proses menyeluruh yang berkesinambungan dan dilakukan secara konsisten dan sistematis. Dalam kerangka inilah, sistem kaderisasi dimaksudkan untuk menjadi landasaan legal kerja kaderisasi dan menjamin agar seluruh proses kaderisasi dapat berlangsung secara tepat, sistematis dan konsisten.
Dalam kerangka sistem kaderisasi itu, rekrutmen, pendidikan dan pengembangan kader merupakan bagian yang sangat menentukan dalam proses kaderisasi. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah gagasan kaderisasi dalam Kongres IPNU di Cirebon kali ini. Untuk mengejawantahkan itu semua, IPNU butuh pemimpin yang berangkat dari gagasan kaderisasi. Pemimpin yang sudah malangmelintang dalam dunia kaderisasi IPNU. Tinggal bagaimana kader-kader IPNU memanfaatkan momen Kongres ini semata-mata berangkat dari gagasan kaderisasi. Bukan yang lain. Yang pasti, Kongres IPNU di Cirebon mesti menorehkan catatan sejarah kepemimpinan yang berangkat dari gagasan dan jiwa kaderisasi.
Salam Belajar, Berjuang, Bertakwa.
*) Penulis adalah Ketua PC IPNU Kabupaten Cirebon masa khidmat 2016-2017