Hajar aswad merupakan batu yang diberikan keistimewaan tersendiri oleh Allah subhanahu wata’ala. Ia adalah batu yang menjadi saksi keagungan dan kemuliaan sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau diangkat menjadi Nabi.
Saat Rasulullah berusia 35 tahun, orang-orang Quraisy merenovasi total Ka’bah, kemudian mereka berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak membawa dan meletakan hajar aswad di sekitar Ka’bah, hingga akhirnya mereka sepakat bahwa yang berhak mengangkat dan meletakannya adalah orang yang pertama kali memasuki Ka’bah. Singkat cerita, orang yang memenuhi kriteria di atas adalah Nabi Muhammad SAW, sosok yang diberi gelar “al-Amin” (orang yang terpercaya) oleh mereka. Sebuah kebanggaan tersendiri bisa mengangkat batu hitam yang prestis itu. Nabi bisa saja mengangkatnya sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain.
Namun berkat kebesaran jiwanya, Nabi tidak memonopoli kesempatan yang langka tersebut untuk dirinya sendiri, sebab beliau bukan tipikal orang yang gila hormat dan pangkat. Pada akhirnya Nabi meletakkan hajar aswad di atas sebuah selendang dan mengajak setiap pembesar suku Quraisy untuk ikut serta membawa batu itu sampai tempatnya, kemudian beliau mengambil batu itu dan meletakkannya.
Menurut riwayat Ibnu Khuzaimah dari Ibnu Abbas, hajar aswad adalah batu intan permata dari surga, dulu berwarna sangat putih tapi kemudian menjadi hitam karena dosa-dosa yang dilakukan oleh umat manusia.
Disebutkan dalam sebuah riwayat:
روي ابن خزيمة عن ابن عباس رضي الله عنهما أن الحجر الأسود ياقوتة من يواقيت الجنة أشد بياضا من اللبن وإنما سودته خطاي ابن آدم ولولا ذلك ما مسه ذوعمة إلا برئ
“Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh bahwa sesungguhnya hajar aswad merupakan salah satu batu intan permata dari beberapa intan permata di surga, berwarna sangat putih, lebih putih dari susu, hanya saja dosa-dosa manusia menjadikannya hitam. Andai saja tidak terjadi hal itu, maka tak seorangpun yang sakit ketika menyentuhnya kecuali ia akan sembuh,” (HR. Ibnu Khuzaimah).
Mencium hajar aswad adalah hal yang disunnahkan bagi orang yang melaksanakan tawaf, berdasarkan teladan yang dilakukan Nabi. Dua guru besar ulama hadits, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan:
عن ابن عمر أنه رأى رسول الله صلي الله عليه وسلم قبله
“Dari Ibnu Umar bahwa beliau melihat Rasulullah SAW mencium hajar aswad,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hanya saja, saat musim haji yan padat jamaah dari berbagai penjuru dunia, mencium hajar aswad agaknya sulit dilakukan, tidak semua jamaah dengan mudah mendapat kesempatan emas itu. Populasi umat Islam yang tengah menjalankan manasik di tempat tawaf hampir tidak pernah sepi dari pengunjung. Berdesakan dan saling dorong tidak bisa dihindari untuk memburu batu surga itu.
Sebenarnya bisa saja memakai jasa orang yang berbadan gempal untuk mempermudah sampai di tempat hajar aswad, namun dalam prakteknya tidak lepas dari tindakan menyakiti jamaah lain, seperti mendesak, mendorong bahkan sampai memukul.
Jika demikian faktanya, maka dalam kondisi tersebut tidak perlu memaksakan diri untuk menghampiri dan mencium hajar aswad, sebab dapat menimbulkan mudarat untuk diri sendiri dan orang lain. Kesunnahan mencium hajar aswad bisa berubah menjadi hal yang diharamkan bila dapat menimbulkan efek menyakiti tersebut. Sebab membuat mudarat kepada diri sendiri atau orang lain adalah haram, sedangkan mencium hajar aswad hanya sunnah.
Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar Al-Syathiri berkata:
الخامس أن يبدأ بالحجر الأسود وقالوا يقف قبالته ويستلمه ويقبله ويضع جبهته عليه ويتأخر قليلا ويجعله علي يساره ويمشى وكل ذلك منوط بعدم الإيذاء أما إذا ترتب علي التقبيل او الإستلام ضرر او إيذاء علي نفسه او غيره لكثرة الزحام فلا يسن بل قد يحرم لأن الضرر والإيذاء حرام والتقبيل و الإستلام مسنونان
“Kelima adalah memulai dari hajar aswad. Para ulama berkata, orang yang tawaf hendaknya berhenti di depan hajar aswad, lalu mengusapnya kemudian menciumnya dan melatakkan jidadnya di atas batu itu, lalu ke belakang sedikit dan menjadikan batu itu di arah kirinya kemudian berjalan. Semua hal itu digantungkan atas ketiadaan menyakiti, sehingga andai saja dalam mencium atau mengusap hajar aswad dapat mengakibatkan bahaya ataupun menyakiti, baik kepada diri sendiri atau orang lain, karena banyaknya orang yang berdesakan, maka tidak disunnahkan bahkan diharamkan, karena bahaya dan menyakiti orang lain adalah haram, sedangkan mencium dan mengusap hajar aswad merupakan sunnah,” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar Al-Syatir, Syarh Al-Yaqut Al-Nafis, Dar al-Minhaj, hal. 328-329).
Ulama memberi solusi bagi jamaah haji yang tidak memungkinkan untuk mencium hajar aswad secara langsung dengan cara mengusap hajar aswad dengan tangan lalu mencium tangannya itu. Bila tidak mampu melakukan hal itu, maka bisa diganti dengan mengusap tongkat atau benda lain dan menciumnya, bila tidak mampu juga, maka cukup berisyarat dengan lambaian tangan atau benda yang ada di tangan lalu menciumnya.
Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan oleh Syekh Zakariya Al-Anshari sebagai berikut:
ـ (و) أن (يقبله) ويضع جبهته عليه فإن عجز عن ذلك استلم باليد ثم قبلها فإن عجز عن الإستلام بها استلم بعصا او نحوها وقبلها فإن عجز أشار بيده او بشيء فيها ثم قبل ما أشار به إليه
“Sunnah mencium hajar aswad dan meletakkan jidat di atasnya. Bila tidak mampu maka mengusapnya dengan tangan kemudian mencium tangannya, bila tidak mampu lagi, maka mengusapnya dengan tongkat atau lainnya dan kemudian menciumnya. Bila tidak mampu lagi, maka berisyarat dengan tangannya atau sesuatu yang ada pada tangannya kemudian menciumnya,” (Syekh Zakariya Al-Anshari, Syarh Al-Tahrir, Al-Haramain, juz 1, hal 472-473).
Jamaah haji tidak perlu memaksakan diri untuk mengejar kesunnahan mencium hajar aswad bila ujung-ujungnya menimbulkan ketidaknyamanan kepada jamaah lain. Mereka tidak perlu cemas, sebab ulama fiqih sudah memberi solusi dengan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Sumber: http://nucirebon.or.id