Cirebon : Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Cirebon, mengajak seniman di Cirebon untuk menggunakan naskah yang bertemakan toleransi.
Penggunaan naskah yang bertema toleransi ini, diawali dengan adanya kegiatan kurasi naskah yang dilaksanakan di Keraton Kasepuhan, Minggu 1 September kemarin.
Dalam kegiatan lokakarya dan kurasi naskah itu, Lesbumi mengundang sejumlah seniman di Cirebon, untuk mengumpulkan dan menginventarisir, naskah-naskah yang memiliki nilai toleransi.
“Para seniman kita ajak, untuk kembali mengumpulkan dan menggunakan naskah yang memiliki nilai toleransi,” ujar Agung Firmansyah, Sekretaris Lesbumi Cirebon, Senin 2 September 2019.
Nantinya, ujar Agung, naskah-naskah yang sudah dikumpulkan tersebut, akan digunakan sebagai acuan untuk pementasan kebudayan dalam program Njujug Tajug, yang diinisiasi oleh Lesbumi Cirebon.
Dalam program Njujug Tajug itu, Lesbumi akan meramaikan Tajug dengan sejumlah kegiatan. Mulai dari kegiatan keagamaan, pertunjukan, keilmuan, kesehatan dan sejumlah kegiatan positif lainnya bagi masyarakat.
“Kita akan lakukan kegiatan tersebut disejumlah tajug yang ada di Kabupaten Cirebon,” ujarnya.
Dengan adanya naskah-naskah yang memiliki nilai-nilai toleransi, diharapkan kegiatan Njujug Tajug bisa ikut mendorong toleransi di Cirebon menjadi lebih kuat.
Raffan S Hasyim, sejarawan Cirebon, sangat mendukung kegiatan yang dilakukan oleh Lesbumi. Menurutnya, sejak dulu Cirebon sudah sangat menerapkan toleransi dalam bermasyarakat.
Dengan adanya kurasi naskah ini, para seniman bisa mengetahui, naskah apa yang sangat layak untuk ditampilkan dalam pertunjukan, dengan membawa nilai-nilai toleransi didalamnya.
“Naskah zaman dulu itu, sarat akan kearifan dalam bermasyarakat,” ujarnya.
Menurut pria yang kerap disapa Opan ini, kurasi naskah sangat penting dilakukan. Karena menurutnya, naskah-naskah pertunjukan, juga diambil dari naskah-naskah yang dibuat oleh para ulama atau ilmuwan zaman dulu.
Opan mencontohkan, kisah hilangnya salah satu saka di Masjid Sang Cipta Rasa, bisa juga dijadikan salah satu bukti toleransi yang kuat di Cirebon.
Menurut Opan, salah satu saka di Masjid Sang Cipta Rasa, bukan hilang. Melainkan diserahkan oleh Sunan Gunungjati, kepada salah satu warga Tionghoa muslim. Saat itu, warga Tionghoa tersebut, membutuhkan kayu untuk membangun kelenteng, untuk rekannya yang beragama Konghucu.
“Akhirnya saka yang hilang itu, diganti oleh Sunan Kalijaga dengan saka tatal,” kata Opan.
Dukungan penggunaan naskah pertunjukan yang bertemakan toleransi, juga didukung oleh aktivis toleransi, Marzuki Rais.
Menurut Marzuki, seni sejak dulu, bukan hanya digunakan sebagai hiburan semata, namun juga untuk menyebarkan Islam dan menyampaikan pesan-pesan moral.
Penggunaan seni budaya untuk menyampaikan pesan toleransi, menurutnya sangat tepat. Karena melalui seni budaya, bisa menyampaikan hingga mendalam dan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
“Lesbumi sangat tepat, untuk memilih seni dan budaya, untuk menyampaikan pesan toleransi,” katanya.