HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASA`IL
DALAM RANGKA HAUL KH. AQIEL SIROJ
Di Pondok Pesantren KHAS Kempek
Cirebon Jawa Barat
27 Muharrom 1441 H/26 September 2019 M
MUSHOHIH | PERUMUS | MODERATOR |
1. KH. Ni’amillah Aqiel Siradj
2. KH. Taufiqurrohman Yasin 3. KH. Wawan Arwani Amin 4. KH. Aziz Hakim Syaerozi 5. KH. Asymawi 6. KH. Ahmad Syauqi Chowas 7. K. Abdussyakur 8. K. Ibnu Malik |
1. KH. Ahmad Zaini Dahlan
2. KH. Muthohhar 3. KH. Nanang Umar Faruq 4. KH. Muhammad Zaim 5. K. Khozin Asror 6. K. Muhammad Hamdi
|
Ust. H. Muhammad Shofy, Lc. |
NOTULEN | ||
1. Ust . Afif Yahya
2. Ust. H. M.N.A. Syaamil Mumtaz 3. Ust. Ahmad Shofi
|
Memutuskan |
KEJELASAN LEGALITAS SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Deskripsi Masalah
Bank syariah yang selama bertahun-tahun belakangan ini semakin banyak diminati menjadi salah satu bukti bahwa sambutan masyarakat akan layanan perbankan yang satu ini terbilang cukup baik. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi para nasabah perbankan, terutama mereka yang menginginkan layanan khusus berbasis syariah terkait dengan berbagai fasilitas perbankan yang akan mereka gunakan.
Disadari atau tidak, ekonomi syariah merupakan sektor yang sangat potensial sebagai variabel menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan mempunyai efek berantai yang sangat positif bagi bergeraknya sektor lainnya. Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Sumber Daya Alam di Indonesia masih sangat potensial untuk terus dikembangkan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Kelas menengah muslim mengalami peningkatan.
Mereka inilah yang akan membawa perubahan besar di negeri ini. Mereka telah selesai dan terpenuhi kebutuhan pokoknya. Namun akan terus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan lainnya, yakni kebutuhan berekspresi dan kebutuhan pemenuhan spiritualitas. Ekonomi syariah dapat menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut. Ekonomi syariah yang dibangun di atas sistem ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam, diyakini lebih membawa keadilan ekonomi. Ia dapat menjadi pilihan kelas menengah tersebut karena diyakini dapat menjawab kebutuhan berekspresi dalam berekonomi juga dapat menjawab sisi kebutuhan spiritualnya.
Terakhir dengan hadirnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada november 2016 diharapkan dapat melahirkan era baru dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. KNKS yang langsung diketuai oleh Bapak Presiden diharapkan dapat mengurai hambatan kebijakan dan kepercayaan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. Lebih jauh, Presiden telah mencanangkan Jakarta sebagai Pusat Keuangan Syariah Dunia. Tentu saja hal-hal terkait dengan pencapaian pencanangan tersebut, baik terkait dengan peraturan ataupun kebijakan lainnya, saat ini sedang dilakukan pembenahan-pembenahan. Bukan hanya sektor keuangan syariah saja yang dilakukan pembenahan, tapi juga sektor bisnis dan wisata syariah. Sistem syari’ah diupayakan bukan hanya menjadi alternatif, tapi merupakan suatu keharusan yang diikuti masyarakat muslim indonesia secara keseluruhan. Karena sistem lainnya yakni konvensional mengalami suatu ketidak pastian.
Terdapat beberapa perbedaan antara ekonomi Syariah dan ekonomi Konvensional tetapi yang menjadi prinsip sebenarnya adalah metode transaksi yang digunakan. Secara khusus, beberapa transaksi semisal dalam bank syariah telah diatur berdasarkan fatwa MUI, antara lain akad al-Mudharabah (bagi hasil), Murabahah (keuntungan), al-Musyarakah (perkongsian), al-Musaqat (kerja sama tani), al-Ba’i (Jual Beli), al-Ijarah (sewa-menyewa), dan al-Wakalah (keagenan). Hal yang sama tidak akan ditemui dalam bank konvensional. Sebab semua aturan serta kebijakan transaksi di bank ini telah diatur dan dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.
Perbedan yang mendasar antar keduanya bahwa dalam ekonomi konvensional tidak ada aturan yang mengekang mengenai bagaimana seorang individu dapat memperoleh keuntungan. Hal ini berimpilkasi bahwa setiap modal yang dimiliki oleh unit ekonomi baik dalam bentuk uang ataupun yang lainnya dapat digunakan untuk memaksimalkan keuntungannya.
Sistem ekonomi konvensional juga mengenal prinsip time value of money yang berarti bahwa nilai uang saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai uang di masa yang akan datang. Dengan prinsip ini, ada “harga” yang harus dibayarkan oleh pelaku ekonomi ketika meminjam/ menggunakan modal dari pelaku ekonomi lainnya yang dikenal dengan istilah bunga.
Sementara dalam sistem ekonomi Islam, perolehan keuntungan hanya bisa diakui dari transaksi-transaksi yang bersifat bisnis dan bukan dari transaksi yang bersifat tolong menolong. Dalam transaksi bisnis, pembagian keuntungan dilakukan dengan sistem bagi hasil yang besarannya ditentukan dalam jumlah prosentase. Dengan prosentase ini, keuntungan akan dibagi sesuai dengan proporsi masing-masing, pun jika ternyata mengalami kerugian akan ditanggung secara bersama-sama sesuai dengan akad/ perjanjiannya.
Keberaadaan lembaga Perbankan Syariah didorong kuat untuk menghindari transaksi yang dipandang mengandung unsur riba. Adanya pelarangan riba dalam islam merupakan pegangan utama bagi Bank Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Oleh karena itu dipilihlah metode-metode transaksi yang dianggap legal secara hukum syariat. Sebagai contoh adalah akad Ba’i Murabahah. Pada prinsipnya akad Murabahah merupakan akad jual-beli antara bank dan nasabah. Bank akan melakukan pembelian atau pemesanan barang sesuai permintaan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah keuntungan Bank yang disepakati dan dalam pembayarannya dapat dilakukan secara diangsur.
Akad Murabahah dapat digunakan untuk :
- Pembiayaan konsumtif, seperti pembelian rumah dan kendaraan.
- Pembiayaan produktif, seperti pembelian mesin produksi.
Terdapat beberapa akad yang dapat digunakan nasabah baik dalam penghimpunan dana (tabungan dsb.) seperti wadiah, mudharabah maupun dalam penyediaan dana seperti syirkah, ijarah, istishna’ yang dianggap legal secara syariat dan tentunya terlepas dari riba.
Ada beberapa ketentuan akad Murabahah yang berlaku di beberapa bank Syariah yaitu :
- Berlaku untuk perorangan dan badan usaha
- Uang muka minimal 20% dari harga beli barang
- Harga jual kepada nasabah adalah harga beli + margin
- Jangka waktu pembiayaan maksimal 10 tahun.
Intinya seseorang yang membutuhkan pembiayaan baik yang bersifat konsumtif maupun produktif dapat mengambil alternatif akad murabahah ini, akan berbeda jika pembiayaan itu melalui bank konvensional yang dalam praktiknya pihak bank cukup meminjamkan dana kepada nasabah untuk keperluan pembiayaan dan akan dibayar oleh nasabah secara berangsur dengan disertai adanya bunga.
Namun dalam prakteknya, sistem syariah dan konvensional hampir tidak ditemukan perbedaan. Kurang lebih dapat digambarkan demikian seseorang yang membutuhkan pembiayaan kepada bank syariah semisal untuk membeli kendaraan motor maka pihak bank akan menyediakan kendaraan yang dibutuhkan dengan melakukan pembelian ke dealer misalnya seharga 18 juta. Kemudian kendaraan tersebut diberikan kepada nasabah dengan harga Rp. 23.000.000 (18.000.000 ditambah keuntungam 5.000.000) dengan cara mengangsur dalam waktu yang telah ditentukan. Bahkan apabila nasabah telat dalam pembayaran maka akan dikenakan denda.
Contoh kedua soal pembelian rumah. Ini ada 2 model. Pertama, seseorang ingin membeli rumah datang ke Bank syari’ah. “Saya ingin membeli rumah yang dijual si Fulan (developer) dengan harga Rp 100 juta,” katanya kepada bank. Setelah melalui proses analisa dan survey, pihak bank menulis akad jual-beli pihaknya dengan calon nasabahya itu. Setelah melalui perhitungan tertentu, pihak bank mengatakan, “Saya akan jual kepadamu rumah itu dengan harga Rp 150 juta untuk jangka lima tahun.” Pihak bank lalu memberikan uang ke calon nasabah itu sejumlah harga rumah, dengan mengatakan, “Silakan beli rumah itu.” Pihak bank tetap di kantornya, tidak mendatangi pemilik rumah.diantaranya, akad jual beli murobahah langsung disepakati antar pihak bank dan nasabah, padahal rumah belum dimiliki bank. Kemudian yang diberikan bank ke nasabah adalah uang, dan bukan rumah. Artinya, bank memberikan sejumlah uang ke nasabah untuk membeli rumah itu. Ini termasuk transaksi riba. Karena bank memberikan uang tunai Rp 100 juta dan akan menerima Rp 150 juta setelah lima tahun. Akad murabahah hanya kamuflase di atas kertas.
Selain itu, sistem syariah lainnya adalah LKMS (Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah) atau BWM (Bank Wakaf Mikro). Lembaga ini dibangun untuk mengurangi maraknya tindakan rentenir yang mencekik ekonomi masyarakat. Seseorang yang hutang akan dipaksa membayar dengan tambahan separoh atau dua kali lipat dari jumlah hutang. Semisal hutang 100.000, maka harus membayar 150.000 atau bahkan 200.000. Beda halnya dengan LKMS, jumlah bunga yang diambil dari setiap peminjaman terbilang sangat kecil cuma 3%. Semisal seseorang meminjam uang sebesar 1 juta rupiah untuk modal usaha. Maka ia cukup membayarnya 1.000.000 ditambah bunga 3% menjadi 1.030.000. Meskipun jumlah bunga tersebut terbilang kecil, tetapi tetap saja mengandung unsur tambahan.
Semua praktek sistem syariah diatas masih menjadi problematik dan kegelisahan ditengah masyarakat. Karena pada hakikatnya, menurut mereka, sistem syariah memiliki kesamaan dengan sistem konvensional yakni menarik keuntungan/bunga. Apalagi sistem ini membawa nama syari’ah atau agama. Sehingga hal ini perlu diperjelas dan dipertegas kembali agar tidak ada kecurigaan dan stigma negatif.
- Keterangan dari KNKS (Komite Nasional Keuangan Syari’ah) dan BRIS (Bank Rakyat Indonesia Syari’ah)
Skema Transaksi Murabahah adalah sebagai berikut : Nasabah yang berniat membeli motor atau rumah tersebut menandatangani pihak Bank untuk mengajukan kredit. setelah pihak nasabah menentukan item pilihannya, pihak bank membeli item dari penjual (dealer atau developer) yang diinginkan oleh nasabah. Setelah terbeli pihak bank mewakilkan kepada nasabah untuk menerima item tersebut dan mewakilkan kepada penjual kepada penjual untuk menyerahkan item tersebut kepada pihak nasabah. Setelah item yang diinginkan nasabah sudah diterima pihak bank dan nasabah melakukan transaksi murabahah dengan cara mengangsur.
Pertanyaan :
- Apakah sistem ekonomi syari’ah sudah tepat dan sesuai dengan aturan fikih melihat beberapa praktek yang telah ditemukan di atas seperti kredit motor atau rumah ?
Jawaban : Praktek Murabahah yang berlaku pada lembaga keuangan syaro’ah seperti yang telah disampaikan KNKS dan BRI Syari’ah hukumnya adalah sah.
Pola akad syari’ah yang digunakan adalah pihak bank melakukan akad jual-beli (ba’I) dengan pihak developer atau dealer untuk mendapatkan item yang diinginkan pihak nasabah, kemudian setelah akad ba’i dilakukan pihak bank melakukan akad wakalah dengan nasabah untuk menerima itemnya (wakalah fi al-qabdh) dan juga melakukan akad wakalah dengan pihak penjual (developer atau dealer) untuk penyerahan item (wakalah fi al-Iqbadh), barulah setelah itu transaksi murabahah antara nasabah dan bank dilakukan.
Catatan :
- Akad ba’i murabahah tersebut dihukumi sah selama tidak ada syarat yang merusak (mufsid) akad seperti adanya perjanjian denda ketika telat pembayaran angsuran.
- Pihak bank tidak boleh memberikan kepada konsumen barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah diberikan.
- Memandang sistem di atas sulit dipraktekkan, maka sebaiknya pihak bank menempatkan petugasnya di tempat-tempat pengkreditan semacam dealer atau lainnya. Supaya transaksi dapat dilakukan dengan mudah.
- Jika ditemukan praktek yang tidak sesuai dengan penjelasan KNKS dan BRI Syari’ah maka mubahitsin belum membahas dan sepenuhnya tanggung jawab bank.
- المجموع الجزء 13 صحـ : 13
(مَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً جَازَ لَهُ بَيْعُهَا بِرَأْسِ الْمَالِ وَبِأَقَلَّ مِنْهُ وَبِأَكْثَرَ مِنْهُ لِقَوْلِهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “إِذَا اخْتَلَفَ الْجِنْسَانِ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ” وَيَجُوْزُ أَنْ يَبِيْعَهَا مُرَابَحَةً وَهُوَ أَنْ يُبَيِّنَ رَأْسَ الْمَالِ وَقَدْرَ الرِّبْحِ بِأَنْ يَقُوْلَ ثَمَنُهَا مِائَةٌ وَقَدْ بِعْتُكَهَا بِرَأْسِ مَالِهَا وَرِبْحِِ دِرْهَمٍ فِي كُلِّ عَشْرَةٍ لِمَا رُوِىَ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا بَدَّهْ يَازَدَّهْ وَدَّهْ دَوَازْدَهْ وَلانَّهُ ثَمَنَ مَعْلُوْمٍ فَجَازَ الْبَيْعُ بِهِ كَمَا لَوْ قَالَ بِعْتُكَ بِمِائَةٍ وَعَشْرَةٍ وَيَجُوْزُ أَنْ يَبِيْعَهَا مَوَاضِعَة ًبأِنَ ْيَقُوْلَ رَأْسُ مَالِهَا مِائَةٌ وَقَدْ بِعْتُكَ بِرَأْسِ مَالِهِ وَوَضْعُ دِرْهَمٍ مِنْ كُلِّ عَشْرَةٍ لانَّهُ ثَمَنٌ مَعْلُوْمٌ فَجَازَ الْبَيْعُ بِه اهـ
- الموسوعة الفقهية الكويتية (9/ 49)
بَيْعُ الْمُرَابَحَةِ: الْمُرَابَحَةُ مَصْدَرُ رَابَحَ. تَقُول: بِعْتُهُ الْمَتَاعَ أَوِ اشْتَرَيْتُهُ مِنْهُ مُرَابَحَةً: إِذَا سَمَّيْتَ لِكُل قَدْرٍ مِنَ الثَّمَنِ رِبْحًا وَاصْطِلاَحًا: بَيْعُ مَا مَلَكَهُ بِمَا قَامَ عَلَيْهِ وَبِفَضْلٍ. أَوْ هُوَ: بَيْعُ السِّلْعَةِ بِالثَّمَنِ الَّذِي اشْتَرَاهَا بِهِ وَزِيَادَةِ رِبْحٍ مَعْلُومٍ لَهُمَا. وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: أَنَّ لَفْظَ الْمُرَابَحَةِ حَقِيقَةٌ عُرْفِيَّةٌ فِيمَا تَقَدَّمَ، وَفِي الْمُسَاوَاةِ وَالْوَضِيعَةِ، إِلاَّ أَنَّ النَّوْعَ الْغَالِبَ فِي الْمُرَابَحَةِ الْكَثِيرَ الْوُقُوعِ هُوَ مَا تَقَدَّمَ. وَبَيْعُ الْمُرَابَحَةِ مِنَ الْبُيُوعِ الْجَائِزَةِ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ، وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ خِلاَفُ الأْوْلَى، وَتَرْكُهُ أَحَبُّ، لِكَثْرَةِ مَا يَحْتَاجُ الْبَائِعُ فِيهِ إِلَى الْبَيَانِ . فَالأْوْلَى عِنْدَهُمُ الْبَيْعُ بِطَرِيقِ الْمُسَاوَمَةِ.
- الفقه الإسلامي الجزء الخامس ص 3767
شروط بيع المرابحة الأول العلم بالثمن الأول الثاني العلم بالربح الثالث أن يكون رأس المال المثليات الرابع أن لا يترتب على المرابحة في أموال الربا ووجود الربا بالنسبة للثمن الأول الخامس أن يكون العقد الأول صحيحا فإن كان فاسدا لم يجز بيع المرابحة لأن المرابحة بيع بالثمن الأول مع زيادة ربح والبيع الفاسد يثبت الملك فيه بقيمة المبيع أو بمثله ل ا بالثمن لفساد التسمية
- الفقه الاسلامى ج5 صحـ : 3778 مكتبة الشاملة الإصدار الثاني
وَجَاءَ فِي مُؤْتَمَرِ الْمَصْرَفِ الإِسْلامِي اَلثَّانِي فِي الْكُوَيْتِ سَنَّةَ 1403 هـ ( 1983 ) يُقَرِّرُ الْمُؤْتَمَرُ أَنَّ الْمَوَاعِدَةَ عَلَى بَيْعِ الْمُرَابَحَة لِلآمِرِ بِالشِّرَاءِ بَعْدَ تَمَلُّكِ السِّلْعَةِ الْمُشْتَرَاةِ وَحِيَازَتِهَا ثُمَّ بَيْعِهَا لِمَنْ أَمَرَ بِشِرَائِهَا بِالرِّبْحِ الْمَذْكُوْرِ فْي الْمَوْعِدِ السَّابِقِ هُوَ أَمْرٌ جَائِزٌ شَرْعاً مَادَامَتْ تَقَعُ عَلَى الْمَصْرَفِ الإِسْلامِي مَسْؤُوْلِيَّةِ الْهَلاكِ قَبْلَ التَّسْلِيْمِ وَتَبْعَةِ الرَّدِ فِيْمَا يَسْتَوْجِبُ الرَّدُ بِعَيْبٍ خَفِيٍّ وَجَمِيْعِ الضَّمَانَاتِ كَالتَّأْمِيْنِ وَمَنْعِ الْبَيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ هُوَ رَأَي الْجُمْهُوْرُ وَأَجَازَ الْمَالِكِيَّةُ بَيْعَ غَيْرِ الطَّعاَمِ قَبْلَ قَبْضِهِ اه
- تكملة المجموع شرح المهذب الجزء الثالث عشر ص 31 – 32
ولقد استحدثت المصارف الإسلامية هذا البيع حين أرادت إيجاد بدائل مشروعة عن التمويل المصرفي الربوي, وهذ ا البيع ينبغي أن تتوافر له ضوابطه التي تمنع من الوقوع فيما هو محظور شرعا بمعنى أنه يجب الحذر الشديد والتدقيق التام في مراحله التنفيذية حتى لا يصبح مجرد حيلة غير شرعية وسبيلا غير مستقيم لتجاوز أحكام الحلال والحرام. وتجدر الإشارة إلى أنه يجب ألا تدفع المصارف الاسلامية إلى ذلك بدعوى التيسير ورفع الحرج أو استنادا إلى تقاليد البيئة والعرف التجاري إلى أن يصير في حقيقته تمويلا ربويا وفي ظاهره بيع مرابحة للآمر بالشراء وهو ما أوصى به علماء المؤتمر الأول للمصرف الإسلامي ضمن توصيات المؤتمر وأكد عليه علماء الرقابة الشرعية في عدد من المصارف الإسلامية
- فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب (ص: 183)
{فصل} في أحكام الوَكَالَة. وهي بفتح الواو وكسرها في اللغة التفويض، وفي الشرع تفويض شخص شيأ، له فعلُه مما يقبل النيابةَ إلى غيره ليفعله حالَ حياته.
- روضة الطالبين وعمدة المفتين (4/ 291)
كِتَابُ الْوَكَالَةِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَبْوَابٍ. [الْبَابُ] الْأَوَّلُ فِي أَرْكَانِهَا وَهِيَ أَرْبَعَةٌ. الْأَوَّلُ: مَا فِيهِ التَّوْكِيلُ. وَلَهُ شُرُوطٌ. الْأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ مَمْلُوكًا لَهُ. فَلَوْ وَكَّلَهُ فِي طَلَاقِ مَنْ سَيَنْكِحُهَا، أَوْ بَيْعِ عَبْدٍ سَيَمْلِكُهُ، أَوْ إِعْتَاقِ مَنْ سَيَمْلِكُهُ، أَوْ قَضَاءِ دَيْنٍ سَيَلْزَمُهُ، أَوْ تَزْوِيجِ بِنْتِهِ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا أَوْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، لَمْ يَصِحَّ عَلَى الْأَصَحِّ. الشَّرْطُ الثَّانِي: أَنْ يَكُونَ قَابِلًا لِلنِّيَابَةِ. وَالَّذِي يُفْرَضُ فِيهِ النِّيَابَةُ أَنْوَاعٌ: مِنْهَا الْعِبَادَاتُ…الى أن قال… وَمِنْهَا: الْمُعَامَلَاتُ، فَيَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي طَرَفَيِ الْبَيْعِ بِأَنْوَاعِهِ، كَالسَّلَمِ، وَالصَّرْفِ، وَالتَّوْلِيَةِ، وَغَيْرِهَا، وَفِي الرَّهْنِ، وَالْهِبَةِ، وَالصُّلْحِ، وَالْإِبْرَاءِ، وَالْحَوَالَةِ، وَالضَّمَانِ وَالْكَفَالَةِ، وَالشَّرِكَةِ، وَالْمُضَارَبَةِ، وَالْإِجَارَةِ، وَالْجَعَالَةِ، وَالْمُسَاقَاةِ، وَالْإِيدَاعِ، وَالْإِعَارَةِ، وَالْأَخْذِ بِالشُّفْعَةِ، وَالْوَقْفِ، وَالْوَصِيَّةِ، وَقَبُولِهَا.
- تحفة المحتاج في شرح المنهاج ~ الجزء الخامس صـ: 512 دارالكتب العلمية
والحاصل أن كل شرط مناف لمقتضى العقد إنما يبطل إن وقع في صلب العقد أو بعده وقبل لزومه لا إن تقدم عليه ولو في مجلسه كما يأتي
- الفقه الإسلامي وأدلته ~ الجزء الخامس صـ 41
الشرط المفسد: هو كل شرط فيه نفع لأحد المتبايعين، إذا لم يكن قد ورد به الشرع، أو جرى به العرف، أو يقتضيه العقد، أو يلائم مقتضاه، مثل أن يبيع سيارة على أن يستخدمها شهراً بعد البيع، أو داراً على أن يظل مقيماً بها مدة معينة، أو أن يشترط المشتري على البائع في صلب العقد أن يقرضه مبلغاً من المال.والشرط الفاسد إذا وجد في عقد من عقود المعاوضات المالية كالبيع والإجارة والقسمة مثلاً أفسده، ولكنه يكون لغواً في العقود الأخرى، مثل التبرعات والتوثيقات والزواج، وتكون هذه العقود حينئذ صحيحة
- الفقه الإسلامي وأدلته ~ الجزء الخامس صـ 156
ثانياً ـ الشرط الفاسد: أو بتعبير أوضح: المفسد: وهو ما خرج عن الأقسام الأربعة السابقة أي لا يقتضيه العقد ولا يلائمه ولا ورد به الشرع ولا يتعارفه الناس، وإنما فيه منفعة لأحد المتعاقدين، كأن اشترى حنطة على أن يطحنها البائع، أو قماشاً على أن يخيطه البائع قميصاً، أو اشترى حنطة على أن يتركها في دار البائع شهراً، أو يبيع شخص داراً على أن يسكنها البائع شهراً، ثم يسلمها إليه، أوأرضاً على أن يزرعها سنة أو دابة على أن يركبها شهراً، أو على أن يقرضه المشتري قرضاً، أو على أن يهب له هبة ونحوها.البيع في هذا كله فاسد؛ لأن كل زيادة منفعة مشروطة في العقد تكون ربا؛ لأنها زيادة لا يقابلها عوض في عقد البيع، وهو تفسير الربا. والبيع الذي فيه الربا فاسد، أو فيه شبهة الربا، وأنها مفسدة للبيع كحقيقة الربا .
- المجموع شرح المهذب (9/ 364)
(أما) الاحكام فقال أصحابنا الشروط خمسة أضرب (أحدها) ما هو من مقتضى العقد بأن باعه بشرط خيار المجلس أو تسليم المبيع أو الرد بالعيب أو الرجوع بالعهدة أو انتفاع المشترى به كيف شاء وشبه ذلك فهذا لا يفسد العقد بلا خلاف لما ذكره المصنف ويكون شرطه توكيدا وبيانا لمقتضاه (الضرب الثاني) أن يشترط ما لا يقتضيه إطلاق العقد لكن فيه مصلحة للعاقد كخيار الثلاث والأجل والرهن والضمين والشهادة ونحوها وكشرط كون العبد المبيع خياطا أو كاتبا ونحوه فلا يبطل العقد أيضا بلا خلاف بل يصح ويثبت المشروط (الضرب الثالث) أن يشترط ما لا يتعلق به غرض يورث تنازعا كشرط ألا يأكل إلا الهريسة أو لا يلبس إلا الخز أو الكتان قال إمام الحرمين وكذا لو شرط الإشهاد بالثمن وعين شهودا وقلنا لا يتعينون فهذا الشرط لا يفسد العقد بل يلغو ويصح البيع هذا هو المذهب وبه قطع إمام الحرمين والغزالي ومن تابعهما وقال المتولي لو شرط التزام ما ليس بلازم بأن باع بشرط أن يصلي النوافل أو يصوم غير رمضان أو يصلي الفرائض في أول أوقاتها بطل البيع لأنه ألزم ما ليس بلازم قال الرافعي مقتضى هذا فساد العقد في مسألة الهريسة ونحوها والله سبحانه وتعالى أعلم
- فتح المعين مع حاشية إعانة الطالبين (3/ 65)
وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد، لخبر كل قرض جر منفعة، فهو ربا
( قوله وأما القرض بشرط إلخ ) محترز قوله بلا شرط في العقد ( قوله جر نفع لمقرض ) أي وحده أو مع مقترض كما في النهاية ( قوله ففاسد ) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد اه والحكمة في الفساد أن موضوع القرض الإرفاق فإذا شرط فيه لنفسه حقا خرج عن موضوعه فمنع صحته ( قوله جر منفعة ) أي شرط فيه جر منفعة ( قوله فهو ربا ) أي ربا القرض وهو حرام
- حاشية البجيرمي على الخطيب الجزء الثالث صـ : 277 {دار الكتب العلمية}
قَوْلُهُ : ( إذَا وُجِدَتْ الصِّفَةُ إلَخْ ) مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفِ لَا بِجَائِزٍ ؛ لِأَنَّهُ جَائِزٌ مُطْلَقًا وُجِدَتْ الصِّفَةُ أَوْ لَا ، وَتَقْدِيرُ الْمَحْذُوفِ وَيَلْزَمُ الْمُشْتَرِيَ قَبُولُهُ إذَا وُجِدَتْ الصِّفَةُ وَإِلَّا فَلَا يَلْزَمُ قَبُولُهُ بَلْ لَهُ الْخِيَارُ ، أَوْ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ إذَا وُجِدَتْ الصِّفَةُ أَيْ ذُكِرَتْ الصِّفَةُ أَيْ ذُكِرَتْ فِي الْعَقْدِ عَلَى مَا وُصِفَتْ بِهِ ، أَيْ مَعَ مَا وُصِفَتْ بِهِ أَيْ مَعَ مَا وَصَفَهَا بِهِ الْأَئِمَّةُ ، أَيْ اعْتَبَرُوهُ مِنْ الصِّفَاتِ الَّتِي يَجِبُ التَّعَرُّضُ لَهَا فِي الْعَقْدِ اهـ .
- الاشباه والنظائر للسيوطي ص ٢٨١
اتِّحَاد الْقَابِضِ، وَالْمُقْبِضِ مَمْنُوعٌ لِأَنَّهُ إذَا كَانَ قَابِضًا لِنَفْسِهِ احْتَاطَ لَهَا، وَإِذَا كَانَ مُقْبِضًا، وَجَبَ عَلَيْهِ وَفَاءُ الْحَقِّ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ، فَلَمَّا تَخَالَفَ الْغَرَضَانِ وَالطِّبَاعِ لَا تَنْضَبِطُ امْتَنَعَ الْجَمْعُ، وَلِهَذَا لَوْ وَكَّلَ الرَّاهِنُ الْمُرْتَهِنَ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ لِأَجْلِ وَفَاءِ دَيْنِهِ لَمْ يَجُزْ ; لِأَجْلِ التُّهْمَةِ، وَاسْتِعْجَالِ الْبَيْعِ، وَلَوْ قَالَ لِمُسْتَحِقِّ الْحِنْطَةِ مِنْ دَيْنِهِ: اقْبِضْ مِنْ زَيْدٍ مَالِي عَلَيْك لِنَفْسِك، فَفَعَلَ، لَمْ يَصِحَّ
- حاشية إعانة الطالبين الجزء الأول ص : ٢٤٧
وقال القفال: لو قال لغيره أقرضني خمسة أؤدها عن زكاتي ففعل صح. قال شيخنا: وهو مبني على رأيه بجواز اتحاد القابض والمقبض.
2. Jika tidak tepat, kira-kira apa saja yang perlu diperbaiki?
Jawaban : dicukupkan dengan jawaban sub a