Khotbah I
الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَّا بَعْدُ، يَا عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: [وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّه مَا تَوَلّى وَنُصْلِه جَهَنَّمَ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا] صدق الله العظيم [النساء:115 ].
Hadirin jama’ah Jumat rahimakumullah, mengawali khotbah pada siang hari yang penuh berkah ini, segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang selalu memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua, dengan berbagai kenikmatan yang tidak terhitung banyaknya, hingga detik ini, kita masih diberikan kesempatan untuk hidup, bernafas, melangkahkan kaki kita menuju Masjid untuk menunaikan shalat Jum’at demi memenuhi keta’atan dan keridha’an Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam kita tujukan kepada baginda Nabi Agung, Nabi mulia, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada seluruh keluarganya, keturunannya, para sahabatnya hingga umatnya yang selalu meneladani ajarannya.
Tidak lupa khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Alhamdulillah kita masih berada di bulan Rabi’ul Awwal atau para ulama menyebutnya Rabi’ul Anwar, yang di dalamnya terdapat momentum Agung, yaitu kelahiran baginda Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merayakan Maulid adalah upaya ekspresi atau ungkapan suka cita dan rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wata’ala yang telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai rasa syukur kita karena ditakdirkan sebagai ummatnya, wajarlah jika ummat yang istimewa ini perlu menampakkan suka cita dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi yang mulia. Peringatan maulid, meskipun tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak lantas berarti dihukumi bid’ah sesat menyesatkan, namun ia termasuk bid’ah hasanah (tradisi baru yang baik) yang disepakati kebolehannya oleh para ulama selama beberapa abad. Sejarah peringatan maulid Nabi pertama kali dilakukan di awal abad ke tujuh hijriah oleh Kūkubūri Ibn Ali Ibn Buktikīn dikenal dengan nama Muzhaffaru Ad-dīn, sang mujahid yang pemberani, berilmu, sederhana, dermawan dan bertaqwa, sekaligus sang raja di Kota Erbil, salah satu kota di Irak, beliau sangat dikenal dalam sejarah, karena telah mengadakan acara perayaan maulid nabi yang begitu megah. Beliau mengundang banyak para ulama dan masyarakat di masanya. Mereka pun semuanya menganggap baik apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar. Mereka mengapresiasinya, memujinya dan tidak mengingkarinya. Dikisahkan pula dalam literatur sejarah (seperti kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah) bahwa beliau banyak membiayai acara perayaan maulid Nabi di setiap tahunnya sebesar 300.000 dinar emas, jamuan tamu di setiap tahunnya sebesar 100.000 dinar emas, pembiayaan dua kota suci, terutama sarana air di daerah Hijaz sebanyak 30.000 dinar emas, dan banyak sedekah-sedekah lainnya yang dirahasiakan. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya. Amin.
Para pecinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbahagia, Para ulama sepeninggal raja al-Muzhaffar juga tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari peringatan maulid Nabi. Upaya tersebut untuk membangkitkan semangat dan cinta serta mengenalkan sosok Nabi yang Agung. Peringatan maulid juga dinilai bagus oleh Imam al-Hafizh Ibnu Dihyah, Al-Hafizh al-‘Iraqi, Imam al-Hafizh Ibnu Hajar, Imam al-Hafizh as-Suyuthi dan banyak ulama lainnya.
Hingga kemudian pada sekitar 200 tahun yang lalu, tiba-tiba muncul sekelompok orang yang mengingkari peringatan maulid dengan keras. Padahal perkara tersebut dinilai baik oleh ummat Islam dari masa ke masa yang berlangsung selama berabad-abad. Mereka menganggap bahwa peringatan maulid adalah bid’ah yang sesat. Mereka berdalih dengan kutipan hadits yang mereka tempatkan tidak pada tempatnya, yaitu hadits كُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ (Setiap perkara baru yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi adalah bid’ah). Hadits ini memang shahih, tetapi maknanya tidaklah seperti yang mereka katakan. Mereka tidak merujuk kepada para ulama hadits yang menjelaskan makna hadits tersebut dalam kitab-kitab Syarah hadits.
Para ulama menjelaskan makna hadits tersebut, bahwa perkara yang dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bid’ah yang buruk dan tercela, kecuali perkara yang sesuai dengan nilai dan hukum syariat. Jadi kata “Kullu” dalam hadits tersebut maknanya bukanlah mutlak “seluruh tanpa terkecuali”, tapi “al aghlab” (sebagian besar). Hal ini sebagaimana dalam firman Allah yang menceritakan tentang angin yang menjadi ‘adzab bagi kaum ‘Ad:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍم بِاَمْرِ رَبِّهَا [سورة الأحقاف: 25]
Artinya: “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya“.
Kenyataannya, angin tersebut tidak menghancurkan segala sesuatu. Tidak menghancurkan bumi dan langit. Angin tersebut hanya menghancurkan kaum ‘Ad dan harta benda mereka. Allah menggunakan redaksi “seluruh”, tapi yang dimaksud adalah “sebagian”.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ [رواه مسلم وغيره]
Artinya: “Barangsiapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa berkurang pahala mereka sedikit pun.”
Oleh karenanya, Imam asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ” [رواه عنه الإمام البيهقي وغيره]
“Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), jadi bid’ah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bid’ah yang menyalahi sunnah adalah tercela.” (Perkataan Imam asy-Syafi’i ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan lainnya).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Apa yang biasanya dilakukan pada saat perayaan maulid? Yang dilakukan tiada lain adalah hal-hal yang disyariatkan dan dianjurkan untuk dikerjakan, yaitu membaca Al-Qur’an, berdzikir, membaca shalawat, melantunkan puji-pujian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti membaca kitab Al burdah, Al hamziyah, al barzanji, ad diba’i, Simtuddurar dan lain-lain, membacakan dan menjelaskan Sirah Nabawiyyah atau sejarah hidup baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti membaca kitab Asy-syifa karya al Imam Al-Qadhi ‘Iyadh atau lainnya serta banyak kebaikan lainnya seperti berbagi sedekah baik berupa uang maupun makanan, baik diniatkan untuk orang yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal. Semua itu adalah kebaikan-kebaikan yang dianjurkan dalam Al-Qur’an dan hadits, baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun secara berjama’ah, baik itu dilakukan sepanjang bulan Rabi’ul Awwal atau sepanjang tahun, itu semua isinya adalah kebaikan, maka bagaimana mungkin hukum perayaan maulid Nabi menjadi haram dan bid’ah yang menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka?
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Al Hafizh as-Suyuthi ketika ditanya tentang peringatan maulid Nabi, beliau menjawab:
“Pada dasarnya peringatan maulid, berupa berkumpulnya orang, membaca Al-Qur`an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Nabi dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan dan bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah (perkara yang baik, meskipun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi) yang pelakunya akan memperoleh pahala, karena itu merupakan perbuatan mengagungkan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran Nabi yang mulia”. (Disebutkan dalam karya beliau, Husnul Maqashid fi ‘Amalil Maulid).
Memang tidak dipungkiri, dalam sebagian pelaksanaan maulid Nabi ada saja oleh sebagian pihak, terkadang terjadi hal-hal yang menyalahi syari’at, jika ada yang demikian maka siapapun harus segera berani menegur dan meluruskannya dengan cara yang baik, atau melaporkannya kepada tokoh Ulama dan pemerintah setempat. Perilaku oknum tersebut tidak lantas dijadikan sampel atau dalil untuk menghukumi secara geralisasi bahwa peringatan maulid nabi dihukumi haram, Hadhratusy Syaikh atau Mbah Hasyim Asy’ari (Tokoh Pendiri Ormas NU) memberikan nasihat yang baik namun tegas terkait acara maulid Nabi, tertulis dalam kitab “at-tanbihat al wajibat liman yashna’ul maulid bil munkarat”. Beliau menegaskan bahwa pada dasarnya Ulama menganjurkan peringatan Maulid Nabi, hanya saja beliau menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi yang dianjurkan sebatas pada hal-hal yang dianjurkan syari’at atau yang dibolehkan, seperti berkumpul-kumpul untuk membaca al-Qur’an, membaca sejarah Baginda Nabi dan akhlak beliau yang luhur, makan bersama, atau jika ingin ditambah dengan tabuhan rebana selama tatakrama dan sopan santun dijaga, tidak ada unsur yang dilarang syari’at, maka yang demikian boleh dilakukan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Demikian khutbah singkat kali ini. Semoga bermanfaat dan barakah bagi kita semua. Amin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khotbah II
اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَاء. أَشْهَدُ أَنْ لآ إلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَآ أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلاةِ وَالسَّلامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلاءَ وَالْغَلاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ