NU Cirebon
Dalam ajaran Islam, manusia tidak hanya dilihat sebagai makhluk biologis yang hidup di dunia sementara, tetapi juga sebagai makhluk spiritual yang diamanahi untuk menjalankan peran penting dalam tatanan alam semesta.
Peran manusia ini tidak terbatas pada urusan duniawi semata, tetapi juga mencakup dimensi spiritual yang sangat berpengaruh pada kualitas hidupnya dan relasinya dengan Allah, sesama makhluk, serta alam semesta.
Peran manusia dalam Islam sangat jelas dan diatur dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat pribadi, sosial, maupun spiritual. Sebagai makhluk ciptaan terbaik (al-Ahsan al-Taqwim), manusia diberikan tanggung jawab besar, yaitu menjadi khalīfah atau wakil Allah di muka bumi.
Tanggung jawab ini, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, mencakup pengelolaan alam semesta dengan adil dan bijaksana. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” (QS Al-Baqarah: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa peran manusia adalah sebagai pengelola bumi, bukan sebagai penghancur atau perusak. Dalam menjalankan peran ini, manusia dituntut untuk menjaga keseimbangan alam, memelihara bumi, serta menerapkan nilai-nilai keadilan dan kedamaian dalam berinteraksi dengan sesama.
Penting untuk dipahami bahwa khalīfah tidak hanya berarti penguasa atau pengelola, tetapi juga sebagai pembawa tugas moral dan spiritual. Artinya, dalam setiap langkah kehidupan, manusia diajarkan untuk selalu mempertimbangkan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain, serta menjaga harmoni dengan alam.
Berbuat baik adalah prinsip yang sangat ditekankan dalam Islam. Islam mengajarkan bahwa segala perbuatan baik—baik itu berupa ibadah kepada Allah maupun perbuatan sosial kepada sesama manusia—merupakan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam ajaran Islam, berbuat baik (ihsān) tidak hanya terbatas pada ibadah ritual seperti salat, zakat, dan puasa, tetapi juga mencakup perbuatan baik terhadap sesama, termasuk berbuat adil, membantu yang membutuhkan, serta menjaga hubungan harmonis dengan keluarga, tetangga, dan seluruh umat manusia. Ajaran ini tidak hanya terwujud dalam bentuk material, tetapi juga dalam bentuk etika dan moral dalam bertindak sehari-hari.
Keberkahan Umur Dilihat dari Manfaatnya
Dalam Islam, umur yang diberkahi tidak diukur berdasarkan panjangnya waktu, melainkan pada kualitas dan manfaat yang diberikan oleh individu tersebut kepada dirinya, keluarga, masyarakat, dan umat manusia secara keseluruhan. Keberkahan ini dilihat dari seberapa besar ia mengisinya dengan amal saleh, berbuat baik, dan selalu mengingat Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Imam Ibnu Athoillah mengingatkan bahwa keberkahan umur dipandang dari seberapa besar memberikan kemanfaatan kepada orang lain.
رب عمر اتسعت آماده وقلت أمداده ورب عمر قليلة
آماده كثيرة أمداده
“Terkadang ada orang berumur panjang, tapi sedikit memberi kemanfaatan. Begitu pula, ada orang yang berumur pendek, tapi senantiasa banyak kemanfaatannya.”
Panjang umur yang penuh berkah adalah mereka yang mengisi waktu hidupnya dengan kebaikan, serta mempererat hubungan dengan orang lain, terutama keluarga. Dengan demikian, keberkahan umur tidak dilihat dari kuantitas waktu, tetapi lebih pada kualitas dari perbuatan yang dilakukan selama hidup tersebut.
Manusia yang memanfaatkan setiap detik waktu untuk berbuat baik, mendalami ilmu, mengabdi kepada masyarakat, dan meningkatkan spiritualitasnya akan merasakan keberkahan dalam hidupnya, meskipun umurnya tidak sepanjang yang diinginkan.
Selain itu, keberkahan umur juga berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan. Sebuah amal yang memberi dampak positif bagi orang banyak, misalnya mendirikan pendidikan atau berinvestasi dalam kegiatan sosial, akan tetap dikenang meskipun pelakunya telah wafat.
Dalam hal ini, keberkahan umur bersifat langgeng dan melampaui waktu hidup fisik individu tersebut.