NU Cirebon
Amtsal, dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari mitsāl, yang berarti perumpamaan. Dalam Al-Qur’an, istilah ini merujuk pada ayat-ayat yang menghadirkan perbandingan atau analogi untuk menjelaskan nilai-nilai moral, spiritual, dan hukum-hukum Ilahi. Perumpamaan ini bukan sekadar gaya bahasa, tetapi metode ilahiah yang bertujuan menjernihkan makna dan menanamkan kesan yang mendalam dalam jiwa pembacanya.
Perumpamaan dalam Al-Qur’an bukan hanya menghiasi pesan, tetapi mengantar akal untuk mencerna kebenaran, dan hati untuk menangkap hikmah. Ia menjembatani yang gaib dengan yang nyata, yang abstrak dengan yang konkret, sehingga hakikat dapat disentuh oleh yang tidak tampak.
Ibnu Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Manna’ al-Qattan, menyatakan bahwa amtsal adalah menyamakan sesuatu dengan yang lain dari segi hukum atau sifatnya. Ia memperdekat yang abstrak agar bisa dinalar, memperjelas yang gaib melalui gambaran nyata. Imam As-Suyuthi pun menyatakan dalam al-Itqān bahwa amtsal adalah cara menjelaskan makna yang samar melalui citra yang jelas—karena yang terlihat lebih menyentuh hati daripada yang hanya dikhayalkan.
Salah satu perumpamaan paling kuat dalam Al-Qur’an mengenai niat dan keikhlasan dalam beramal tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 264:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًاۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْاۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan batalkan sedekahmu dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti perasaan (penerima), seperti orang yang berinfak karena ingin dilihat manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu diguyur hujan lebat hingga bersih licin. Mereka tidak memperoleh apa pun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini bukan sekadar teguran, tapi peringatan keras. Allah menegaskan, siapa pun yang menginfakkan hartanya karena ingin dipuji, lalu mengungkit-ungkit dan menyakiti penerima, maka amalnya terhapus. Ibarat batu licin tertutupi debu, lalu diguyur hujan hingga bersih tak berjejak—demikian pula pahala amalnya, hilang tak tersisa.
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim menafsirkan perumpamaan ini dengan cermat: batu adalah diri pelaku, debu di atasnya adalah amal yang dilakukan tanpa keikhlasan. Saat datang hujan lebat—yakni ujian atau keikhlasan yang tidak hadir—debu amal pun lenyap. Tak tersisa kebaikan karena tiada ketulusan.
Demikian pula dalam tafsir Zubdatut Tafsir karya Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dari Universitas Islam Madinah, ditegaskan bahwa orang yang menyebut-nyebut pemberian dan tidak mengharap ridha Allah semata, ibaratnya seperti batu tandus yang tak dapat menumbuhkan apa pun. Ia kehilangan pahala, sebagaimana batu kehilangan tanah yang menutupi permukaannya.
Hikmah dan Bahaya Riya’
Ayat ini adalah isyarat tajam tentang penyakit hati yang tersembunyi namun mematikan: riya’, memperlihatkan amal untuk mendapat pujian manusia. Ini adalah syirik kecil, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’. Kelak di Hari Kiamat, Allah berfirman kepada orang-orang yang riya’: ‘Pergilah kepada orang yang dulu kalian ingin pujian mereka, lihat apakah mereka bisa memberi balasan pada kalian.’” (HR. Ahmad)
Amal yang dilakukan tanpa niat ikhlas hanya menyisakan lelah, bukan ganjaran. Ia tidak mendekatkan diri kepada Allah, tidak pula membawa manfaat di dunia dan akhirat.
Sedekah yang mengandung riya’, diiringi celaan atau ungkapan menyakitkan kepada penerima, tidak hanya menggugurkan pahala, tapi menunjukkan kerusakan hati. Sebab, sebagaimana sabda Nabi:
“Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah tidak memandang besar kecilnya amal, tetapi niat di baliknya. Perumpamaan dalam Al-Qur’an hadir untuk menajamkan pemahaman kita akan hakikat amal. Ia menelanjangi kepura-puraan, menuntun hati untuk senantiasa bersih dari pamrih.
Maka, siapa yang ingin amalnya diterima, hendaklah menjaga hatinya. Jangan jadikan manusia sebagai tujuan. Jadikan Allah sebagai satu-satunya yang dituju, sebab hanya kepada-Nya amal kembali dan hanya dari-Nya balasan sejati datang.