Selain hormat dengan teladan, prinsip, dan keberanian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Manuel Kaisiepo (2017) memiliki cerita. Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia era Presiden Megawati Seokarnoputri itu mengisahkan, ketika Kongres Rakyat Papua akan dilakukan kelompok tertentu banyak ditentang elite Jakarta, Gus Dur justru menyetujui kongres itu dilaksanakan.
Bahkan, Gus Dur juga akan membantu terselenggaranya acara kongres tersebut, yaitu dengan memberikan bantuan pendanaan. Ini langkah Gus Dur yang dianggap banyak orang nyeleneh, lain daripada yang lain. Apalagi Gus Dur menemui kelompok dalam kongres tersebut.
Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua adalah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.
Sosok Gus Dur memang tidak bisa dilepaskan perannya dalam memberikan spirit kemanusiaan di tanah Papua dari segala bentuk diskriminasi, marjinalisasi, dan krisis di segala bidang. Hingga saat ini, rakyat Papua membutuhkan sekaligus menyayangi Gus Dur.
Pada 30 Desember 1999 atau tepat 2 bulan 10 hari setelah dilantik menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur berkunjung ke Irian Jaya dengan dua tujuan, yaitu untuk berdialog dengan berbagai elemen di Papua dan melihat matahari terbit pertama milenium kedua tanggal 1 Januari 2000 pagi.
Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat.
Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu, dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia hingga yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan.
Selanjutnya Presiden berbicara merespons mereka. Banyak hal ditanggapi, tetapi yang penting ini, “Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua,” katanya. “Alasannya?”
“Pertama, nama Irian itu jelek,” kata Gus Dur. “Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian.”
Gus Dur lalu melanjutkan, “kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau punya anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet. Tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”
Seorang antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya. Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan masalah rumit dan besar seperti masalah Papua.
Ahmad Suaedy yang menulis buku Gus Dur, Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba ‘menenangkan’ hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.
Perhatian Gus Dur terhadap konflik vertikal dan kedekatannya dengan para eksponen, yang oleh pemerintah pusat disebut separatis, sebenarnya bukan hanya di Indonesia, melainkan juga kepada negara-negara tetangga, seperti di Pattani, Thailand Selatan dan di Mindanao, Filipina Selatan.
Gus Dur tidak hanya memfasilitasi dialog dan mencari jalan damai, tetapi juga mendampingi mereka sebagai sahabat dan saudara, tanpa memprovokasi dan melanggar etika hubungan antarnegara. Karena Gus Dur juga terlibat aktif mewujudkan perdamaian bangsa-bangsa di dunia yang terlibat konflik.
Gus Dur menempatkan dua konflik vertikal di Papua sebagai isu kewarganegaraan. Perinsif utama kewarganegaraan adalah kesetaraan. Pendekatan yang dilakukan Gus Dur adalah dialog langsung. Melakukan penguatan masyarakat sipil. Melakukan berbagai pertemuan. Membangun kesepakatan, sampai pada titik nol derajat, yang berarti tidak ada tuntutan.
Dengan pendekatan personal yang begitu kuat, Gus Dur mengakomodasi penyebutan nama Papua. Sebelumnya, siapa saja yang menyebut Papua akan dianggap separatis. Pemerintah memberi nama Irian Jaya, sementara masyarakat inginnya Papua, karena Papua itulah nama yang sudah lama ada. Pengembalian nama Papua oleh Gus Dur berjalan tanpa syarat, tanpa konsensus apa pun, langsung saja dibolehkan untuk menyebut nama Papua.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi
Editor: Abdullah Alawi
Sumber: www.nu.or.id