Oleh: Yoyon Syukron Amin *)
Realitas hidup yang terlahir tanpa ayah dan terdidik dalam ruang kesederhanaan telah membawa diri Muhammad SAW kepada perhatian yang lebih luas.
Tentu peran mandat kewahyuan menduduki posisi vital dalam penyebaran Islam, namun pembentukan pribadi dan ketokohan menjadi perangkat lain yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sama seperti yang dikaruniakan kepada para nabi-nabi yang lain sebelum akhirnya mereka menjalankan tugasnya sebagai pendakwah ajaran Tuhan demi kebaikan umat manusia.
Terdidik dalam perkampungan Bani Sa’d yang masih terjaga norma dan kefasihan tata bahasanya adalah bagian dari perangkat beliau dalam menghadapi kehidupan jahiliyah bangsa Arab. Juga proses perenungan yang panjang di Gua Hira pada akhirnya melatih beliau untuk berfikir cerdas dan memiliki kepekaan yang tajam dalam membaca lingkungan sekitar.
Skenario Allah SWT menjadikan beliau sebagai orang yang “Um” (tidak bisa membaca dan menulis), bukanlah sebatas hujjah dari tuduhan kafir Quraisy bahwa Al-Quran adalah karya Muhammad. Bukan hanya menjaga keotentikan Al-Quran sebagai kalamullah. Tetapi juga sebagai bukti bahwa Allah membersihkan beliau dari sifat yang tak pantas sebagai seorang Nabi.
Kebiasaan bangsa Arab yang bertumpu pada tradisi menghafal, menjadikannya menafikan sistem baca tulis dalam kehidupan sosio-kultural masyarakatnya. Semakin kuat seseorang menghafal semakin tinggi pula prestisenya. Pun sebaliknya semakin lemah daya ingat dan hafalan seseorang maka semakin rendah wibawanya.
Kegemaran berkompetisi dalam membuat syair mereka masyhurkan dengan cara dihafalkan, sampai tak jarang ahli sejarah mengisahkan, bahwa syair-syair yang paling top saat itu didendangkan oleh anak-anak dipasar-pasar.
Alhasil, Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW di dalam berdakwah tidak mengabaikan nilai tradisi dan budaya. Bahwa Islam tidak lahir dalam ruang hampa. Akan tetapi Islam memang disampaikan pada manusia yang sejak dulu sudah terbangun peradaban. Konteks bangsa Arab sebagai masyarakat jahiliyah bukan berarti bodoh dan tak mengerti apa-apa. Peradaban manusia saat itu sangatlah maju, tetapi etika, norma dan nilai-nilai kemanusiaan itulah yang mereka abaikan. Sebab itu Rasulullah bersabda “saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Di Nusantara, apa yang disampaikan oleh para Wali Songo merupakan cerminan dari dakwah Rasulullah SAW. Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan media wayang, Sunan Kudus yang sangat menjaga tenggang rasa dengan masyarakat Hindu, Sunan Gunung Jati yang sangat menghargai kearifal lokal. Itu semua adalah upaya penyeimbangan antara agama dengan budaya.
Peradaban manusia dan Islam sesungguhnya sangat bisa berjalan berdampingan, selama kecerdasan seorang pendakwahnya mampu menyeimbangkan tanpa harus dibenturkan. Dan inilah sebenarnya yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil alamain. Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah Sekretaris PC GP Ansor Kab.Cirebon