NU Cirebon Online,
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PCNU Kabupaten Cirebon, menggunakan formula yang tidak biasa untuk mengantisipasi menyebarnya paham-paham dan gerakan-gerakan radikalisme agama. Lembaga ini menggandeng pegiat seni budaya untuk berperan dalam menangkal paham dan gerakan tersebut. Selama dua hari Lesbumi PCNU Kabupaten Cirebon menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan narasumber-narasumber ahli di bidannya di Hotel Apita, Cirebon, Senin-Selasa, 5-6 Agustus 2019.
Dr. Raffan S. Hasyim salah satu narasumber FGD menjelaskan ihwal munculnya radikalisme di Cirebon. Ia mengatakan radikalisme di Cirebon diciptakan oleh orang Belanda semenjak adanya perjanjian Sultan-sultan Cirebon yang menjadikan Kesultanan pecah menjadi tiga yaitu Kesultnan Kanoman, Kasepuhan, dan Panembahan.
“Kebijakan Belanda yang campur tangan urusan politik dengan Kesultanan Cirebon itu menciptakan radikalisme di Cirebon,” ungkap Raffan yang pada tanggal 6 Juli 2019 lalu pernah menjadi narasumber terkait budaya dan kesenian di Israel.
Akibat terpecahnya Kesultanan tersebut, lanjut Raffan, penjajah Belanda menyebarkan isu-isu radikalisme ke Desa-Desa dan Kecamatan serta menyuruh masyarakat memberi upeti berupa pajak seperti kopi dan gula.
“Melihat masyarakat Cirebon menderita para Kiai melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Orang Belanda menyebut tindakan pemberontakan para Kiai itu disebut radikalisme-ekstrimisme. Dari situ tuduhan ada radikalisme yang bermula dari adu domba Belanda,” jelasnya.
Isu tersebut menjadi stereotif negatif bagi perkembangan Islam dan seluruh kebudayaan yang bernuansa Islam di Cirebon. Namun, kata Raffan, hal itu bisa diminimalisir dengan pertunjukkan wayang dan gotong royong masyarakat Cirebon.
“Yang direkomedasikan untuk menangkal radikalisme adalah dengan gotong royong. Pada zaman dahulu sudah ada lembaga yang mengumpulkan produk-produk pertanian. Di pegelaran di depan makam Sunan Gunung Jati ada tempat untuk mengumpulkan hasil gotong royong seperti hasil pertanian dan kelautan yang disebut Atur Bekti. Kedua dengan pertunjukkan wayang. Sunan Kalijaga mengenalkan wayang,” tambah Raffan.
Wayang, jelas Raffan, dikenal melalui tradisi budaya pertanian yaitu sedekah bumi dengan tujuan memohon izin pada Allah agar tidak membawa efek negatif sehingga hasil bumi dilancarkan dan dimudahkan. Pementasan wayang tersebut dilakukan saat Mapag Sri dan Barikan. Hal tersebut termasuk etika sehingga masyarakat menyumbangkan makananan dan dimakan bersama.
“Melihat sejarah Cirebon, setiap jumat kliwon Sunan Gunung Jati memberikan tausiah dan di hari lain memberikan pembinaan secara langsung melalui pendekatan ke masyarakat. Sebagai orang NU kita harus mengamalkan nilai-nilai tersebut. Itu semua adalah ilmu leluhur yang bisa menjadi penangkal radikalisme. Jadi NU dengan Lesbuminya harus bisa mengimplementasikan itu semua,” tutup Raffan.