Oleh: Sobih Adnan *)
“Ayo batur pada sholat berjamaah, ganjarane ana pitu likur rokhmat. Eman temen lunga ngaji saban dina, lamun beli gelem sholat berjamaah. Ayo, kawan, kita salat berjemaah, pahalanya berjumlah 27 derajat. Sayang sekali belajar mengaji setiap hari, jika tidak mau disertai salat berjemaah.”
PUJIAN itu masih sempat melantun hingga pengujung 1990-an. Wabilkhusus, di masjid dan musala sekitaran Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Penulis menangkap, penggalan lirik tersebut adalah salah satu sampel dari keresahan yang mulai menjangkit di tempat-tempat peribadatan. Masjid, musala, atau dalam terminologi pantura Jawa Barat lazim disebut tajug, mulai bergeser, dari era tumpuan ke masa-masa “keterasingan”.
Tajug, kala itu, masuk pada anggapan sekadar tempat belajar bagi anak-anak, atau area munajat bagi kelompok usia sepuh. Tidak bisa dipertukarkan, dikolaborasi, apalagi menemukan nilai-nilai lebih yang pernah ter/digagas pada mula keberadaannya.
Sadar atau tidak, tajug pun, memiliki rekam jejak yang berubah-ubah. Sementara perpindahan eranya, penting didalami sebagai salah satu ikhtiar untuk menjaga fungsi asal sebagai tempat peribadatan sekaligus poros sosial kemasyarakatan.
Persis, sebagaimana yang dipesankan Kanjeng Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, Islam dan perlindungan terhadap kelompok tertindas adalah sebuah pertalian kuat sebagai obyek perjuangan dakwah sepanjang zaman.
Tren dan era
Berbeda pula dengan hari ini, tajug sudah menemukan era barunya kembali, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Berkaca pada data nasional, misalnya, Sistem informasi masjid (Simas) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI (2019) mencatat, Indonesia memiliki 255.425 masjid, serta 289.935 musala.[1]
Untuk masjid, angka itu terkotak-kotak dalam beberapa kategori. Dari mulai masjid raya, agung, jami, bersejarah, hingga ruang publik. Sementara musala, terdapat kelas publik, perkantoran, pendidikan, dan perumahan.
Ketimbang jumlah masjid di negara lain, Indonesia berada di posisi negara dengan jumlah masjid terbanyak. Di Arab Saudi saja cuma terdaftar 94.000 masjid. Apalagi, tradisi masyarakat setempat tidak mengenal kategorisasi yang membedakan masjid dan musala seperti di Indonesia.[2]
Begitu juga di Malaysia (6.292),[3] Brunei Darussalam (118), atau Iran (70.000).[4]
Ada beberapa faktor yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah masjid terbanyak. Pertama, perbandingan jumlah penduduk yang besar dengan lebih dari 80 persennya sebagai penganut muslim. Kedua, masjid di Indonesia tidak dibatasi sebagai inisiatif negara, sebagian besarnya justru dikelola swadaya masyarakat. Ketiga, tren relijiusitas masyarakat Indonesia yang kian membesar, termasuk dari kelompok muda dan generasi terkini.
Untuk poin pertama dan kedua, penulis anggap sebagai alur statis. Dalam arti, meskipun pada prosesnya bisa berubah, namun jika unsur pondasinya tidak terdapat perubahan secara revolusioner maka tidak akan tampak lonjakan dan penyusutan yang drastis. Yakni, perubahan aturan konstitusi, atau perubahan sudut keimanan seseorang yang bersifat sangat personal.
Yang menarik, justru tangkapan tentang tren relijiusitas masyarakat Indonesia yang kian menanjak. Pergeserannya boleh dibilang cukup singkat dan mengagetkan. Begitu pula, potensi perubahan-perubahan berikutnya yang dinilai tetap rentan dan superdinamis.
Ambil contoh, hasil riset Varkey Foundation (2018) yang menyatakan bahwa 93 persen anak muda Indonesia dengan rentang usia 17-23 tahun menganggap agama sebagai unsur penting dalam kehidupan. Kelompok rohani Islam (Rohis) di sekolah dan kampus diduga menjadi pemicunya. Sementara penyebab lainnya adalah atas sumbangsih tren kritik terhadap globalisasi yang relatif sedang meningkat dan lazim terjadi di berbagai belahan dunia.
Ironisnya, kenaikan tren relijiusitas ini tidak selaras dengan penguatan kebudayaan masyarakat. Malahan, data yang hadir nyaris selalu beriringan dengan angka-angka intoleransi dan radikalisme yang tak kalah turut merangkak naik.
Di sinilah, lantas bisa dibilang, membengkaknya jumlah tempat peribadatan, naiknya tingkat relijiusitas, serta poros kebudayaan masyarakat yang stagnan, menjadi era tersendiri bagi tajug yang memang sejak awalnya memiliki tanggungjawab dan fungsi mengorkestrasi kesemuanya itu dengan baik.
Tahapan
Menarik memang, jika segala obyek penelitian sekarang ini diselaraskan dengan garis masa yang telah dibabak dengan baik oleh studi revolusi industri.
Pun ihwal perubahan dan pergeseran peran tajug. Inilah masa tajug 4.0, sebuah perubahan pola dan fungsi sebuah tempat peribadatan yang sebagian besar dipicu oleh pengaruh dan pola pikir masyarakat sebagai subyek perubahan sekaligus obyek alias sasaran.
Tajug 1.0 dimulai ketika istilah itu ditangkap dari titah Kanjeng Sunan Gunung Jati yang hidup semasa era renaisans di Eropa, yakni peralihan abad pertengahan ke modern pada 14-15 Masehi.
Kala itu, tajug berperan sebagai pusat peradaban masyarakat, poros moral, juga penguatan teologis Muslim di Indonesia, terutama masyarakat Cirebon. Bahkan, dari konsep tajug, Syarif Hidayatullah merancang sebuah perubahan dalam sistem pemerintahan sekaligus perlawanan masyarakat.[5]
Fase berikutnya bisa dipotret pemisahan sebutan masjid dan musala. Era Tajug 2.0 boleh dikiaskan ketika pendefinisian kedua sebutan tempat peribadatan Muslim itu dianalasa dalam kacamata fikih.[6] Masjid dan musala dibedakan dari niat dan proyeksi wakaf, zonasi, hingga berdampak pada fungsi, strata, sekaligus nilai kelembagaan di tengah masyarakat.
Masa Tajug 3.0 berlangsung ketika keduanya mengalami nasib serupa. Yakni, seiring pergerakan masyarakat modern yang sebagian besar terus didorong ke arah materialistik dan pragmatisme, minus spiritualitas, dan menganggap urusan keimanan telampau personal.
Imbasnya, masjid dan musala terkungkung dalam keterasingan. Periode ini, sebenarnya disumbang pula oleh iklim politik di Indonesia. Ambil singkat, peran rezim Orde Baru yang militeristik, yang pada akhirnya berhasil menghadirkan definisi relijiusitas masyarakat Indonesia yang berbeda, sesuai dengan kehendak penguasa.
Pascareformasi, semua pola dan lini yang berkaitan dengan masyarakat pun berubah. Semangat keberagamaan masyarakat kembali meningkat, akan tetapi dilengkapi banyak pekerjaan rumah. Termasuk, fungsi agama sebagai sarana pengembangan masyarakat tetap ditinggalkan. Agama dan segala fasilitas pendukungnya, tetap dianggap tetap sebagai nilai privat yang tidak mengalami sentuhan langsung atau irisan yang berbeda dengan kehidupan sosial. Inilah fase Tajug 4.0.
Era Tajug 4.0, sebagai mana dalam perubahan pola industri, juga terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi. Arus informasi yang bersifat kian cepat dan pesat, tanpa batas, menghadirkan peluang sekaligus tantangan tersendiri, terlebih bagi moderasi Islam di tengah masyarakat.
Masyarakat digital
Lantas, bagaimana ikhtiar peningkatan kelembagaan tajug di era masyarakat digital?
Masyarakat digital bisa diartikan dengan mengurutkan pola perubahan produksi yang pernah terjadi. Dimulai dari revolusi industri 1.0 yang ditandai dengan lahirnya mesin uap, revolusi industri 2.0 diwarnai munculnya elektrifikasi dan produksi massal, dan revolusi industri 3.0 diindikasi dengan hadirnya teknologi internet, hingga revolusi industri 4.0, fase ketika nyaris segala kebutuhan hidup manusia bersentuhan dengan layanan digital.
Ada tiga faktor utama pendorong revolusi digital. Pertama, perkembangan ponsel cerdas sebagai alat utama akses internet. Kedua, konsep Internet of Things (IoT) yang hampir selalu meminimalisir peran manusia secara langsung. Dan yang ketiga adalah terobosan big data yang memudahkan manusia untuk melakukan analisa dalam banyak hal.
Layanan digital yang makin meluas mendorong terciptanya data baru secara masif. Dengan begitu, jumlah data menjadi kian besar, bervariasi, dan dihasilkan secara sangat cepat (real time).
Yang paling menarik dan menonjol dalam perubahan pola arus informasi ini adalah hadirnya sebuah sistem komunikasi tanpa sekat ruang dan waktu. Termasuk, batas-batas obyek pengetahuan dan kepentingan. Maka, wajar, jika alur ini turut memberi perubahan pandangan dan sikap masyarakat terhadap agama dan kebudayaan yang naik turun.
Bukti pengaruh pola masyarakat digital dalam dakwah adalah perubahan tradisi yang sebelumnya mengandalkan struktural, menjadi sebuah medan yang sama-sama menghadirkan peluang bagi segenap lintasan.[7]
Tamsil gampangnya, jika dulu dakwah yang bersumber dari kelembagaan keagamaan besar yang memiliki tempat dan kedudukan strategis lebih mudah beredar, sekarang tidak lagi. Lembaga fatwa, ormas besar, ulama masyhur, sama peluangnya dengan dakwah yang bermula dari masjid, ustaz, atau musala yang sekalipun letak keberadaannya di pelosok desa.
Sudah banyak beberapa bukti bahwa kehidupan digital menghadirkan kejutan-kejutan mengenai satu poros informasi yang terkesan menafikan tradisi struktural. Tajug, yang sejak awal kelahirannya dibangun oleh nilai-nilai Islam moderat dan berkebudayaan, mestinya tak punya alasan untuk tidak ambil bagian di garda terdepan melalui pemanfaatan pola digital.
Alhasil, selamat datang di era Tajug 4.0, sebuah konsep dakwah keumatan melalui medan perjuangan baru demi menguatkan masyarakat Islam Indonesia yang toleran.
*) Penulis menggemari isu perubahan masyarakat digital dan tergabung menjadi peneliti di KelasNawa, Jakarta. Bekerja sebagai redaktur konten di Metro TV dan Medcom.id
**) Disajikan dalam Diskusi Kebudayaan “Njujug Tajug Lesbumi” yang diselenggarakan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon di Pondok Pesantren Al Fatih Kayuwalang, Kota Cirebon, Minggu, 18 Agustus 2019.
[1] Proses memasukkan data masjid dan musala ke aplikasi SIMAS sudah dilakukan sejak 2014. Meski begitu masih ada yang belum masuk data SIMAS sekitar 230.000an rumah ibadah dan diharapkan semua selesai pada 2019. Detik.com
[2] Kompas.com, “Wapres: Terbanyak di Dunia, Jumlah Masjid di Indonesia Kalahkan Arab Saudi”, https://nasional.kompas.com/read/2015/05/31/11193151/Wapres.Terbanyak.di.Dunia.Jumlah.Masjid.di.Indonesia.Kalahkan.Arab.Saudi.
[3] Senarai Masjid Malaysia (2018), http://cybermosque.mpsj.gov.my/laman.html
[4] Brudirect.com, “His Majesty Attended The First Friday Prayers at Pehin Khatib Abdullah Mosque, Kampung Kulapis (2018).
[5] Mahrus Elmawa, dalam Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada masa Syarif Hidayatullah (1479-1568), Jurnal Jumantara Vol. 3 No. 1 – April 2012.
[6] Al Ghazali, al-Wasith, juz 2, hal. 263, Kairo, Dar al-Salam, cetakan ketiga tahun 2012.
[7] Penulis mengamati fenomena persebaran informasi oleh PKS Piyungan yang mengalahkan popularitas situs resmi milik DPP PKS