Oleh: Ahmad Faiz R
Tahun 1931, NU secara resmi melebarkan sayap pergerakannya di Wilayah Jawa Barat. Perintisnya di daerah Cirebon. Cirebon adalah tempat pertama kali di Jawa Barat yang menyelenggarakan Kongres NU ke-6 pada hari selasa-kamis (25-27 Agustus 1931 M/10-12 Rabiul Tsani 1350 H). Sebutan masa itu “Congres Kaping Nenem”.
Terkait Kongres NU di Cirebon, ada hal menarik saat Kongres diselenggarakan. Pertama, Congres diadakan di dua tempat berbeda yaitu Hotel Orange Cirebon (10-11 Rabiul Tsani 1350 H/25-26 Agustus 1931 M) dan di Buntet Pesantren (12 Rabiul Tsani 1350 H/27 Agustus 1931 M). Kedua, Congres dihadiri 8000 peserta (terbilang cukup meriah). Ketiga, sebelum mengadakan rapat pada malam hari di Masjid Agung Cirebon (kini Masjid At-taqwa), sempat ada masalah terkait perizinan. Namun, KH. Wahab Hasbullah segera melakukan konsolidasi dengan pemerintah Belanda setempat. Keempat, saat Kongres berlangsung, ada perdebatan cukup alot tentang Tarekat Tijaniyah. Namun, hasil Kongres memutuskan bahwa tarekat ini mu’tabarah. Tokoh awal yang menerima tarekat ini salah satunya Kiai Abbas Buntet.
NU masuk ke Cirebon melalui dua cara. Pertama, Sanad keilmuan. Kedua, Jaringan pesantren. Tokoh awal NU Cirebon setidaknya diinisiasi oleh KH. Abdul Halim Leuwimunding (Consul/utusan Lajnah Nasihin wilayah Jawa Barat), kemudian KH. M. Abbas Abdul Jamil Buntet, KH. Amin Sepuh Ciwaringin, KH. Said Gedongan, KH. Syatori Arjawinangun, KH. Idris Kamali Kempek dan Kiai Jauhar Arifin Balerante. Penyebaran awal NU di Cirebon terbilang sederhana yakni dengan cara kultural melalui dakwah bil hal, mimbar agama, dll.
Kemudian, sebelum NU berdiri 1926, para kiai tradisional di Cirebon yang berada di pedasaan dan pesantren seperti Kiai Abbas Buntet (ia pernah menjabat dewan penasihat Sarekat Islam sebelum NU berdiri). Lalu ketika NU berdiri hampir para kiai dan pesantren di Cirebon menerima dan ingin bergabung. Sebab mereka memiliki kedekatan, sanad keilmuan dan jaringan pesantren yang hampir tidak berbeda dengan di Jawa Timur. Yakni sama-sama berguru ke Syaikh Kholil Bangkalan Madura dan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.
Setelah NU terbentuk pada 1926. Dua tahun setelahnya diperkuat dengan berdirinya Madrasah Abno’ul Wathan pada 1928 di Buntet Pesantren. Madrasah tersebut diinisiasi Kiai Abbas sebagai lanjutan dari Taswirul Afkar yang dipelopori KH. Wahab Chasbullah. Selain itu, MD ini juga sebagai bentuk perlawanan terhadap koloni Belanda setelah menerapkan kebijakan “Ordonantie Goeroe 1925”. Semangat juang dari Kiai Abbas inilah yang kemudian diikuti Kiai Dimyati Bandung, Kiai Mas Abdurrahman Menes Banten, Ajengan Ruhiyat Tasikmalaya, dan Kiai Djunaidi Batavia/Jakarta.
Dari hasil itupun sudah dipastikan bahwa secara kultural pada tahun 1928 NU menjalar ke wilayah Priangan bahkan mungkin sebelum NU berdiri. Mengingat masyarakat Jawa Barat khususnya Cirebon saat itu masih kental dengan adat, tradisi, dan lainnya. Ditambah slogan NU “al-muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”. Sehingga dengan mudah NU diterima di Jawa Barat khususnya di Cirebon. Bahkan dukungan para ulama/kiai di Cirebon diketahui dengan kehadiran Kiai Abbas dan Kiai Anas Buntet pada Kongres NU ke-4 di Semarang 1929.
Sementara di Cirebon pada awal abad 20 sudah ada beberapa ormas terkemuka. Seperti disebutkan G.F. Pijfer dalam Pragmenta Islamica, bahwa di Karesidenan Cirebon, SI, PUI, Persis, Al-Irsyad, Muhammadiyah, dan NU bermunculan. Maka tidak heran jika Kehadiran NU di tanah pantura meramaikan bursa keormasan di daerah ini. Bahkan kehadiran NU dianggap kawan maupun lawan. Hal ini dimuat dalam beberapa Majalah Tjahya Islam (1932), Al-Mawaidz (1934-1938) Al-Lisaan (1936) yang memberitakan perdebatan khilafiyah terkait ajaran Islam antara kaum tradisionalis (NU) dan modernis (Persis, Majelis Ahli Sunnah Cilame/MASC). Akibatnya, di Cirebon terkena imbasnya. Seperti di Gebang, Ciledug, dan Karangsembung (Sindanglaut). Istilah perdebatan saat itu disebut “Openbare Debat/Vergadering”. Perdebatan itu tidak hanya skala lokal seperti di Cirebon bahkan skala nasional. Tidak terkecuali di wilayah Priangan. Seperti di Tasikmalaya, Bandung, Sukabumi.
Disamping itu, menurut Budi Sujati, pada saat pembentukan NU di Kampung Kertopaten, Surabaya. Utusan Jawa Barat hanya diwakili KH. Abdul Halim Leuwimunding. Ia adalah kerabat dekat KH. Wahab Hasbullah. Bahkan saat NU terbentuk, Kiai Abdul Halim langsung ditunjuk sebagai Khatib Tsani. Sehingga, hal ini menandakan bahwa pada 1926 NU di Cirebon sudah ada. Perlu dicatat bahwa ada 3 nama KH. Abdul Halim di Cirebon. (tepatnya di Karesidenan Cirebon yang meliputi Cirebon, Indramayu, Majalengka Kuningan). Yaitu KH. Abdul Halim Asmoro (Pendiri PUI di Majalengka). KH. Abdul Halim Baribis (Santri Kiai Amin Sepuh Ciwaringin) dan KH. Abdul Halim Leuwimunding, penggerak NU baik skala nasional maupun lokal. (foto KH. Abdul Halim NU bisa dilihat di kalender PCNU Kabupaten Cirebon terkini atau di Buku Sejarah NU Jawa Barat karya Budi Sujati).
Selanjutnya terkait kepengurusan awal NU Cirebon secara lengkap, saat ini belum ditemukan. Sebab saat itu HBNO (kini PBNU) menargetkan bahwa Cirebon adalah salah satu daerah yang ditargetkan untuk segera mendirikan cabang secara resmi. Tapi, diketahui sebelum Kongres diadakan, patut diduga NU Cabang Cirebon sudah terbentuk namun belum resmi. Pertama, hal ini didadasari dari berita “Kongres Kaping Nenem” bahwa Hadji Moehammad Koerdi, mendapat surat untuk ditugaskan sebagai pimpinan sidang Kongres, dan saat itu kantor NU cabang Cirebon bertempat di Jl. Kebon Tjaistraat No. 51 Cheribon.
Kedua, saat Kongres diadakan, dihadiri distrik (semacam MWC) Sindanglaut (Karangsembung) dan Ciledug. Distrik ini kemungkinan terbentuk secara non-formal. Baru sejak tahun 1934 distrik tersebut disahkan secara resmi, dan diteruskan kebeberapa kring/desa (ranting). Tercatat, menurut beberapa Majalah Al-Mawidz, Tjahya Islam, Al-Lisaan, Kring dan Distrik tersebar di daerah Cirebon sekisar tahun 1934-1940-an. Diantaranya, Plered, Kejaksan, Karangsuwung, Babakan dan Gebang. (Mungkin masih banyak, namun belum ditemukan arsip/document terkait hal itu).
Terkait susunan pengurus awal NU cabang Cirebon memang agak sulit ditemukan. Namun, jika dilihat dari perhelatan Kongres NU. Tercatat NU Cabang Cirebon mengirim utusan untuk menghadiri agenda tersebut. Catatan ini dimuat dibeberapa “Madjallah swara, Berita NO dan catatan perhelatan Kongres NU”. Diantaranya, NU Cabang Cirebon megirim 3 utusan di Kongres NU ke-10 di Solo 1935 (terkait nama utusan tidak disebutkan). Kemudian Kongres NU ke-11 di Banjarmasin 1936 mengutus KH. Abdul Halim (Rois Syuri’ah). Kongres NU di Malang 1937, mengutus S. Awoed A. Bansjar (Tanfidziyah). Kongres NU ke-13 di Banten 1938 mengutus KH. Abbas Buntet (Rois Syuri’ah), Ibrahim Badjurie (Tanfidziyah). Kongres NU ke-14 di Magelang 1939 mengutus KH. Madrais, KH. Abbas Buntet (Syuri’ah), H. Abdullah, H. Syihabuddin, Abdul Manan (perwakilan ANO kini disebut GP ANSOR). Kongres NU ke-15 di Surabaya 1940 mengutus KH. Abbas Buntet, KH. Ali Kamali (Rois Syuriah), Ibrahim Badjuri (Tanfidziyah).