KH Muhammad Musthofa Aqil Siroj, pengasuh Pondok Pesantren Khas Kempek di Cirebon, Jawa Barat, membagikan kisah dan kebiasaannya dalam membaca Surat Al-Ikhlas.
Menurutnya, Surat Al-Iklas memiliki makna yang mendalam dan selalu menyertainya dalam berbagai momen kehidupan, baik saat berdakwah maupun ketika mengasuh santri di pesantren.
Dalam perbincangan hangat bersama NU Online pada Jumat, 18 April 2025, di kediamannya, Kiai Musthofa menjelaskan bahwa Surat Al-Ikhlas memiliki tempat istimewa di hatinya karena keunikan yang dimilikinya. Ia menyoroti bahwa meskipun nama surat tersebut adalah “Al-Ikhlas” (yang berarti keikhlasan), namun tidak ada satu pun kata dalam isi surat itu yang secara eksplisit menyebut kata “ikhlas”.
Makna keikhlasan, sambung Kiai Musthofa, justru tergambar begitu kuat melalui kandungan suratnya yang menegaskan tauhid, yakni keesaan Allah, tanpa syarat atau kepentingan lain.
“Kalau diperhatikan dengan saksama, antara nama dan isi surat memang tak ada hubungan kata secara langsung. Namun, justru inilah yang menjadi kekuatan Surat Al-Ikhlas. Ia mengajarkan kepada kita tentang makna keikhlasan sejati—menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tanpa motivasi lain,” ujar Kiai Musthofa.
Lebih lanjut, ia mengisahkan rutinitas pribadinya dalam melantunkan Surat Al-Ikhlas. Setiap kali menunaikan shalat Shubuh, ia selalu membaca surat tersebut dua kali pada rakaat kedua. Menurutnya, untuk rakaat pertama, ia biasanya membaca surat lain, namun Surat Al-Ikhlas selalu menjadi pilihan utamanya di rakaat terakhir.
“Untuk rakaat pertama saya bebas memilih surat lain. Tapi rakaat kedua, saya rutin membaca Al-Ikhlas dua kali. Sudah menjadi kebiasaan,” ungkapnya sambil tersenyum.
Dalam kesempatan itu, Kiai Musthofa juga mengulas pentingnya pemahaman terhadap penjagaan Al-Qur’an yang dijanjikan langsung oleh Allah. Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an dijaga keasliannya secara ketat oleh Allah Swt. dan menjadi satu-satunya kitab suci yang tidak mengalami perubahan, sekecil apa pun. Ia memberi contoh bahwa jika terjadi kesalahan satu huruf saja dalam Al-Qur’an, maka akan menimbulkan kegemparan di seluruh dunia Islam.
Ia kemudian merujuk pada Surat Al-Hijr ayat 9 yang berbunyi, “Inna nahnu nazzalna adz-dzikra wa inna lahu lahafizhun”, yang artinya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” Dari ayat tersebut, ia menjelaskan makna penggunaan kata “Nahnu” (Kami) yang merupakan bentuk jamak, padahal Allah adalah Dzat yang Maha Esa.
“Penggunaan kata ‘Kami’ dalam ayat ini menunjukkan adanya keterlibatan banyak unsur dalam proses penurunan dan penjagaan wahyu, bukan dalam arti menggambarkan pluralitas Dzat Allah. Ini juga menunjukkan kebesaran dan keagungan kuasa-Nya,” jelasnya.
Kiai Musthofa juga membawakan perumpamaan yang sederhan untuk menjelaskan bagaimana hafalan Al-Qur’an dalam diri seseorang akan selalu berada dalam perlindungan Allah. Ia mengibaratkannya seperti uang yang disimpan dalam lemari. Jika seseorang ingin menjaga uang tersebut, tentu ia juga harus menjaga lemari tempat uang itu berada.
“Begitulah hafalan Al-Qur’an pada diri seseorang. Jika ia menghafalnya, maka Allah akan turut menjaga dirinya, sebagaimana orang yang menjaga lemari demi melindungi isi di dalamnya,” tuturnya. Ia pun menyebutkan bahwa salah satu manfaat besar dari menghafal Al-Qur’an ini adalah peluang yang lebih besar untuk masuk ke dalam surga, insyaallah.
Di akhir wawancara, Kiai Musthofa memberikan masukan bagi NU Online agar dapat memperkaya kontennya dengan menambahkan fitur kajian tafsir tematik. Menurutnya, pendekatan ini sudah digunakan oleh Al-Qur’an itu sendiri melalui pola ayat-ayat yang saling menjelaskan dan menafsirkan satu sama lain.
“Itu belum banyak dilakukan secara luas. Padahal Al-Qur’an sendiri memberi contoh bagaimana ayat-ayatnya saling menguatkan makna,” kata Kiai Musthofa Aqil.
KH Muhammad Musthofa Aqil Siroj, pengasuh Pondok Pesantren Khas Kempek di Cirebon, Jawa Barat, membagikan kisah dan kebiasaannya dalam membaca Surat Al-Ikhlas.
Menurutnya, Surat Al-Iklas memiliki makna yang mendalam dan selalu menyertainya dalam berbagai momen kehidupan, baik saat berdakwah maupun ketika mengasuh santri di pesantren.
Dalam perbincangan hangat bersama NU Online pada Jumat, 18 April 2025, di kediamannya, Kiai Musthofa menjelaskan bahwa Surat Al-Ikhlas memiliki tempat istimewa di hatinya karena keunikan yang dimilikinya. Ia menyoroti bahwa meskipun nama surat tersebut adalah “Al-Ikhlas” (yang berarti keikhlasan), namun tidak ada satu pun kata dalam isi surat itu yang secara eksplisit menyebut kata “ikhlas”.
Makna keikhlasan, sambung Kiai Musthofa, justru tergambar begitu kuat melalui kandungan suratnya yang menegaskan tauhid, yakni keesaan Allah, tanpa syarat atau kepentingan lain.
“Kalau diperhatikan dengan saksama, antara nama dan isi surat memang tak ada hubungan kata secara langsung. Namun, justru inilah yang menjadi kekuatan Surat Al-Ikhlas. Ia mengajarkan kepada kita tentang makna keikhlasan sejati—menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tanpa motivasi lain,” ujar Kiai Musthofa.
Lebih lanjut, ia mengisahkan rutinitas pribadinya dalam melantunkan Surat Al-Ikhlas. Setiap kali menunaikan shalat Shubuh, ia selalu membaca surat tersebut dua kali pada rakaat kedua. Menurutnya, untuk rakaat pertama, ia biasanya membaca surat lain, namun Surat Al-Ikhlas selalu menjadi pilihan utamanya di rakaat terakhir.
“Untuk rakaat pertama saya bebas memilih surat lain. Tapi rakaat kedua, saya rutin membaca Al-Ikhlas dua kali. Sudah menjadi kebiasaan,” ungkapnya sambil tersenyum.
Dalam kesempatan itu, Kiai Musthofa juga mengulas pentingnya pemahaman terhadap penjagaan Al-Qur’an yang dijanjikan langsung oleh Allah. Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an dijaga keasliannya secara ketat oleh Allah Swt. dan menjadi satu-satunya kitab suci yang tidak mengalami perubahan, sekecil apa pun. Ia memberi contoh bahwa jika terjadi kesalahan satu huruf saja dalam Al-Qur’an, maka akan menimbulkan kegemparan di seluruh dunia Islam.
Ia kemudian merujuk pada Surat Al-Hijr ayat 9 yang berbunyi, “Inna nahnu nazzalna adz-dzikra wa inna lahu lahafizhun”, yang artinya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” Dari ayat tersebut, ia menjelaskan makna penggunaan kata “Nahnu” (Kami) yang merupakan bentuk jamak, padahal Allah adalah Dzat yang Maha Esa.
“Penggunaan kata ‘Kami’ dalam ayat ini menunjukkan adanya keterlibatan banyak unsur dalam proses penurunan dan penjagaan wahyu, bukan dalam arti menggambarkan pluralitas Dzat Allah. Ini juga menunjukkan kebesaran dan keagungan kuasa-Nya,” jelasnya.
Kiai Musthofa juga membawakan perumpamaan yang sederhan untuk menjelaskan bagaimana hafalan Al-Qur’an dalam diri seseorang akan selalu berada dalam perlindungan Allah. Ia mengibaratkannya seperti uang yang disimpan dalam lemari. Jika seseorang ingin menjaga uang tersebut, tentu ia juga harus menjaga lemari tempat uang itu berada.
“Begitulah hafalan Al-Qur’an pada diri seseorang. Jika ia menghafalnya, maka Allah akan turut menjaga dirinya, sebagaimana orang yang menjaga lemari demi melindungi isi di dalamnya,” tuturnya. Ia pun menyebutkan bahwa salah satu manfaat besar dari menghafal Al-Qur’an ini adalah peluang yang lebih besar untuk masuk ke dalam surga, insyaallah.
Di akhir wawancara, Kiai Musthofa memberikan masukan bagi NU Online agar dapat memperkaya kontennya dengan menambahkan fitur kajian tafsir tematik. Menurutnya, pendekatan ini sudah digunakan oleh Al-Qur’an itu sendiri melalui pola ayat-ayat yang saling menjelaskan dan menafsirkan satu sama lain.
“Itu belum banyak dilakukan secara luas. Padahal Al-Qur’an sendiri memberi contoh bagaimana ayat-ayatnya saling menguatkan makna,” kata Kiai Musthofa Aqil.