Oleh: Siti Nuraeni Arini
BEBERAPA umat Muslim membayangkan fikih sebagai disiplin ilmu yang rumit, penuh istilah teknis, dan identik dengan kitab tebal. Gambaran semacam ini menjadikan fikih hanya dianggap sebagai bahan kajian akademik di pesantren atau perguruan tinggi.
Padahal, fikih hadir pada aktivitas paling sederhana, misal, saat seseorang berwudu, makan di warung, meminjam uang receh, hingga meneguk sisa air di gelas. Ironisnya, justru perkara kecil seperti tersebut sering terlewat tanpa dipikirkan hukumnya.
Bukankah banyak tindakan dilakukan tanpa memastikan benar-salahnya menurut agama? Wudu dilaksanakan setiap hari, namun masih muncul keraguan tentang kesucian sisa air minum orang lain. Persoalan kecil, tapi di sanalah fikih bekerja nyata dalam kehidupan.
Dari Persoalan Kecil yang Sering Terlupakan
Banyak orang baru tersentuh mempelajari fikih secara serius ketika berhadapan dengan persoalan besar seperti warisan, akad nikah, atau transaksi bernilai besar. Sebaliknya, urusan sederhana, seperti masuk kamar mandi, adab makan, atau akad kecil, sering diletakkan di pinggir. Padahal, kesalahan kecil yang terjadi berulang kali dapat menjadi kebiasaan yang keliru.
Di titik inilah belajar fikih dari hal yang tampak remeh memiliki nilai penting, karena aktivitas yang paling sering dilakukan adalah hal-hal sehari-hari, bukan persoalan besar yang muncul sesekali.
Apa Itu Fikih?
Dalam warisan keilmuan Islam, fikih tidak sekadar daftar hukum, tetapi pemahaman mendalam terhadap aturan syariat dalam praktik nyata. Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa mendefinisikan:
العِلْمُ بِالأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّة
“Ilmu tentang hukum syar’i amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil terperinci.” (Al-Mustashfa, I/8)
Al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul menambahkan:
وَهُوَ مَعْرِفَةُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ بِالأَدِلَّةِ
“Dan (fikih) adalah mengetahui hukum-hukum syar’i berdasarkan dalil-dalilnya.” (Irsyad al-Fuhul, 1/10).
Fikih, dengan demikian, bukan hanya hafalan hukum, melainkan kemampuan memahami dan menerapkannya dengan bijak.
Contoh Fikih Sehari-hari
Beberapa kasus ringan berikut cukup sering terjadi:
1. Air Sedikit Terkena Najis Ringan
Dalam Fath al-Qarib dijelaskan bahwa air di bawah dua qullah menjadi najis jika terkena najis meski sedikit.
وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ قَلِيْلًا وَوَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ نَجُسَ
“Dan apabila air itu sedikit lalu terkena najis, maka air tersebut menjadi najis.” (BAB Thaharah).
Aturan ini memengaruhi sah-tidaknya wudu seseorang, sekalipun kasusnya tampak sepele.
2. Menunda Wudu Padahal Waktu Salat Sudah Masuk
Sayyid Sabiq melalui Fiqh al-Sunnah menegaskan keutamaan menyegerakan ibadah. Menunda tanpa alasan dapat mengurangi nilai disiplin spiritual.
3. Adab Makan dan Minum
Rasulullah Saw bersabda:
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ
“Jika salah seorang dari kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanan.” (HR. Muslim).
Aturan sederhana ini mengandung pendidikan adab dan penghormatan terhadap sunnah.
4. Utang Kecil tanpa Akad Jelas
Al-Majmū’ karya Imam Nawawi menjelaskan pentingnya kejelasan akad untuk menghindari perselisihan. Utang kecil sering dianggap tidak penting, namun dalam fikih tetap memerlukan kesepakatan yang jelas.
Contoh-contoh sederhana tersebut menanamkan kehati-hatian, disiplin, serta adab yang membentuk karakter beragama.
Kemaslahatan Fikih
Fikih tidak berhenti pada hukum boleh atau tidak, tetapi mendorong tumbuhnya kesadaran hidup. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lamul Muwaqqi’in menegaskan bahwa hukum syariat diturunkan dengan hikmah dan kemaslahatan. Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menyatakan:
إِنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ لِتَحْقِيقِ الْمَصَالِحِ
“Syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan.” (II/6).
Realitas Sosial
Fenomena hari ini menunjukkan antusiasme besar terhadap perdebatan fikih kontemporer: fintech, kripto, atau perbedaan mazhab. Diskusi tersebut bermanfaat, namun ironis jika adab antre, salam, kebersihan tempat ibadah, atau tata wudu masih kurang diperhatikan.
Banyak persoalan besar dibahas, tetapi hal dasar yang mengatur interaksi harian belum ditata dengan baik. Sikap paling efektif adalah memulai dari diri sendiri dengan memperbaiki pemahaman dasar.
Penutup
Fikih bukan beban, tetapi panduan hidup yang bersahabat. Ia hadir pada rutinitas paling kecil, bahkan yang terlihat remeh. Justru dalam perkara sederhana itulah disiplin agama bertumbuh. Mengelola hal kecil dengan ilmu akan mempermudah urusan besar yang lebih kompleks.
Jika perkara kecil dijaga dengan baik, perkara besar akan mengalir dengan lebih indah. Di sanalah fikih menjadi cahaya yang memandu, bukan sekadar aturan yang membatasi. Semoga pemahaman dan praktik fikih dasar semakin hidup dalam kehidupan sehari-hari.
*Penulis merupakan Mahasiswi PPG Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi.





