Oleh: Nina Rojanah (Anggota Lembaga Konseling Pelajaran PC IPPNU Kabupaten Cirebon)
MANUSIA adalah makhluk sosial yang dikaruniai akal dan pikiran sehingga dapat menilai dan menganalisis banyak hal. Dalam menilai suatu predikat baik maupun buruk tentunya setiap manusia berbeda-beda tergantung pada apa yang ditautkan dengan sumbernya. Berbagai permasalahan pun seringkali ditemukan oleh seorang praktisi baik psikolog maupun konselor.
Berkenaan dengan penilaian orang lain, yang seringkali membebani adalah manusia itu sendiri, seperti dalam kalimat yang diutarakan oleh G Corey, “Dalam mencari jati diri, kebanyakan orang lebih percaya dengan apa yang dikatakan orang lain dari pada percaya pada diri sendiri, sehingga hilangnya prinsip hidup yang seharusnya dibangun dari dalam diri.”
Dengan kata lain, dalam menjalani kehidupan, kita seringkali terpengaruh oleh standar hidup dari orang lain. Misalnya, pandangan orang baik dikenal mempunyai sikap lemah lembut dalam berkomunikasi, tidak boleh kasar, dan standar lainnya sampai pada titik kita tidak punya kebebasan dan kemerdekaan untuk mengekspresikan diri.
Berbicara baik dan buruk, pertanyaan paling mendasar yang muncul dari penulis adalah apakah hal tersebut memiliki kategori dan standar sendiri? Kita seringkali merasa benar namun salah di mata orang lain, begitupun sebaliknya.
Menurut seorang filsuf, tidak ada kebenaran yang mutlak karena sejatinya semua orang bisa benar dan salah. Yang salah adalah mereka yang suka menyalahkan, yang benar adalah mereka yang memahami dan menghargai.
Socrates memiliki formula untuk menjadi seseorang yang tidak hanya benar tetapi bijaksana. Misalnya ada seseorang yang istiqomah salat tahajud dua rakaat, kemudian pada malam berikutnya ia kembali salat tahajud dua rakaat, padahal ia punya kesempatan dan waktu lebih untuk menambah rakaat salatnya. Namun karena berdalih istiqamah salat tahajud dua rakaat, maka ia merasa sudah cukup.
Istiqamah dan salat tahajud adalah perkara baik, tetapi yang dimaksud Socrates adalah ketika suatu hal yang baik masih bisa diupayakan dan diperbaiki, maka akan menjadi lebih baik lagi, dan itulah yang dinamakan kebijaksanaan.
Salah satu hal yang paling mendasar untuk menjadi pribadi yang bijaksana adalah know yourself atau mengenali diri sendiri. Kemudian, bekal utama yang kita miliki untuk memahami diri adalah pikiran.
Menurut tokoh filsuf modern, Rene Descartes ‘Corgito Ergo Sum’, artinya saya berpikir maka saya ada. Tanpa berpikir, manusia sulit memahami dirinya dan diakui keberadaannya, karena pikiran itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kita mau melakukan apa besok? maka hari ini kita akan berpikir untuk mempersiapkan dengan baik.
Dalam berbagai kesempatan, kita seringkali enggan melakukan suatu kebenaran karena takut salah. Apalagi memahami standar-standar kebenaran yang telah lahir di masyarakat seperti yang telah dijelaskan di atas.
Lingkungan telah menciptakan baik-buruk, benar-salah versi masing-masing. Bahkan kesempatan bagi mereka yang ingin belajar menjadi sempit, yang justru menimbulkan keraguan dan ketakutan melakukan sebuah kesalahan. Padahal, esensi dari kesalahan adalah pembelajaran.
Menurut Albert Bandura, perilaku manusia dibentuk oleh lingkungan, dan lingkungan menciptakan budaya ataupun norma-norma yang lahir. Menurutnya, perilaku manusia dipengaruhi oleh pengalaman lingkungan sekitar dan melalui pembelajaran sosial atau meniru (modeling). Menirukan segala hal baik yang menguntungkan maupun merugikan, seperti pemahaman yang melekat di masyarakat akan budaya patriarki, stereotype, dan bentuk ketidakadilan gender lainnya.
Kita punya kuasa atas diri sendiri, mau ikut mengamini budaya yang lahir, atau bersikap apatis, ataupun merespons dengan penuh kesadaran. Sehingga tidak selalu menjadi objek bagi lingkungan, kita pun bisa menjadi subjek dengan melahirkan value yang positif untuk masyarakat, serta mempengaruhi banyak orang untuk bertindak selayaknya memanusiakan manusia.
Pemahaman yang lumrah perihal setiap orang tidak akan pernah luput dari sebuah kesalahan, untuk mencapai sebuah kebenaran kita seringkali melewati kesalahan-kesalahan yang terus di ulang. Belajar adalah kuncinya, dan hal yang paling mendasar adalah belajar mengenali diri.
Analoginya, kita belum memahami desain atau sketsa bangunan. Lantas bagaimana bisa membangun sebuah fondasi bangunan yang kokoh? Ketika hal tersebut terus dipelajari, bukan tidak mungkin kita akan menjadi pribadi yang bijaksana seperti yang di ungkapkan Socrates, hal yang paling mendasar untuk menuju kebijaksanaan adalah know yourself, kenali diri.
Terdapat banyak cara untuk dapat mengenali diri sendiri, salah satunya seperti teori dari Kierkegaard mengenai manusia. Menurutnya, manusia menekankan pada posisi penting dalam diri seseorang yang bereksistensi bersama dengan analisanya tentang segi-segi kesadaran religious seperti iman, pilihan, keputusan, dan ketakutan. Sedangkan pandangannya mengenai eksistensi bagi manusia yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya.
Sederhananya manusia untuk bisa mengenal diri nya dengan menumbuhkan rasa kesadaran melalui beribadatan (iman) dan sosial (lingkungan pergaulan yang sehat), dengan begitu akan tercipta kondisi diri yang memaham dari tujuan hidup.
Mengenali diri sendiri merupakan hal yang paling mendasar dalam menuai kesiapan untuk berperan di masyarakat, dan menjadi subyek untuk menciptakan kebermanfaatan bagi lingkungan.