Pada tahun 1926, di Surabaya, para kiai pesantren Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) mendirikan jamiyah (organisasi) bernama Nahdlatul Ulama, kebangkitan para ulama. Sebelum organisasi itu berdiri, para tokohnya lebih dahulu mendirikan tiga pilar penyangga utama, yaitu Nahdlatul Wathan pada tahun 1914, Tashwirul Afkar pada tahun 1918, dan Nahdlatut Tujjar tahun 1924.
Pada saat mendirikan NU, para kiai mendiskusikan nama organisasi yang akan dibentukknya. Salah seorang kiai mengusulkan nama Nuhudlul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Namun, KH Mas Alwi Abdul Aziz mengusulkan Nahdlatul Ulama. Kiai Alwi berpandangan, konsekuensi dengan menggunakan kata nahdlatul adalah kebangkitan yang telah terangkai sejak berabad-abad lalu. Bukan kebangkitan yang tiba-tiba sebab ulama Aswaja memiliki sanad keilmuan dan perjuangan sama dengan ulama-ulama sebelumnya.
Menurut Choirul Anam pada buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, paling tidak, kebangkitan ulama NU merupakan kelanjutan dari gerakan Wali Songo dan ulama penyebar Islam lainnya di Nusantara. Selama ratusan tahun, perjuangan tersebut turun-temurun, sambung-menyambung, bergerak mempertahankan Islam di Nusantara.
Masih di buku yang sama, Choirul Anam mengatakan, karena keadaan terus berubah, tantangannya pun berbeda, karena itu, cara para kiai Aswaja bergerak dalam mempertahankan dan menyebarkan Islam pun berubah juga. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan bergerak sendiri-sendiri, para kiai mencoba dengan mendirikan organisasi.
“Ini hanyalah persoalan cara, tapi intinya adalah mempertahankan Islam itu sendiri. Buktinya, pesantren dipertahankan, organisasi dijalankan,” tulis Choirul Anam di buku itu.
Tantangan baru tiada lain adalah penjajahan bangsa Eropa mulai Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris, serta terakhir bangsa Asia (Jepang). Mereka tidak hanya mengeruk kekayaan alam di Nusantara, tetapi menyebarkan agama dan budaya mereka dengan begitu masif karena terorganisir dengan baik.
Dengan demikian, motif para kiai mendirikan organisasi adalah untuk menahan persebaran agama dan budaya yang dibawa penjajah. Pada saat yang sama, berusaha lepas dari belenggu penjajahan (nasionalisme).
Motif mempertahankan agama ini tiada lain adalah tetap berlangsung ajaran, pemikiran, praktik Islam Ahlussunah wal Jamaah dengan mazhab empat. Hal ini merupakan penegasan dari perkembangan saat itu. Di Timur Tengah muncul paham baru yang menggagas pembaruan dalam Islam dengan slogan kembali pada Al-Qur’an dan hadits dan antitaqlid kepada mazhab empat.
Di Arab Saudi muncul pula paham Wahabi. Paham tersebut semakin kuat dan masif ketika disokong kekuasaan. Sejak Ibnu Saud, Raja Najed menaklukkan Hijaz (Makkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Paham-paham tersebut juga mendapat pengikut kuat di Nusantara yang mengampanyekan antibidah di mana-mana. Taqlid adalah penyebab kemunduran, melarang tahlilan, dan tradisi-tradisi keagamaan lain yang jelas-jelas memiliki dasar dari ajaran Islam sendiri, yang selama ini dilakukan paham Ahlussunah wal Jamaah.
Para ulama Ahlussunah wal Jamaah di Nusantara, risau dengan kebijakan Arab Saudi tersebut. Mereka kemudian merencanakan untuk mengirimkan utusan ke Tanah Suci Mekkah, menemui penguasa saat itu untuk meminta menghentikan kebijakan itu. Rencana untuk mengirim utusan dilaksanakan di kediaman KH Wahab Chasbullah di Kertopaten, Surabaya pada16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926, untuk membentuk Komite Hijaz yang kemudian melahirkan Nahdlatul Ulama.
Sementara motif kedua berdirinya NU adalah nasionalisme atau membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Choirul Anam menjelaskan melalui rekam jejak KH Wahab Chasbullah yang sejak muda terlibat di Sarekat Islam (SI), Indonesische Club, mendirikan Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar, Syubanul Wathan dan mengadakan kursus masail diniyah bagi pemuda pembela mazhab merupakan gerakan nasionalisme.
Menurut Anam, sehari sebelum pertemuan Kertopaten, terjadi dialog antara KH Wahab Chasbullah dengan KH Abdul Halim Leuwimunding.
“Apakah organisasi yang akan didirikan para kiai itu memiliki tujuan kemerdekaan?”
“Iya, umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka,” jawab Kiai Wahab.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah mengatakan: Apabila diperhatikan, nama Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional.
Pada halaman selanjutnya di buku tersebut Ahmad Mansur Suryangera mengatakan, NU sebagaimana organisasi yang didirikan sezaman berkeinginan menegakkan kembali umat Islam sebagai mayoritas. (Abdullah Alawi)
Sumber: www.nu.or.id