Oleh: M Kholid Syeirazi
RADIKALISME agama dibentuk oleh pikiran radikal. Pikiran radikal menghasilkan sikap eksklusif dan intoleran. Sikap eksklusif dan intoleran pintu masuk untuk bertindak radikal, melakukan teror, dan kekerasan.
Orang yang berpikir radikal dan bersikap eksklusif belum tentu bersedia melakukan tindakan radikal, kekerasan, apalagi teror. Tetapi semua teroris atas nama agama bertindak karena pikiran-pikiran radikal. Bahan baku pikiran radikal di kalangan muslim adalah kombinasi kompleks dari bermacam-macam sumber.
Sumber pertama adalah teks-teks agama (nushusu addiniyah) baik Al Qur’an, Hadits maupun pendapat ulama yang dijustifikasi sebagai referensi untuk berpikir dan bertindak radikal. Teks-teks ini umumnya dipahami secara harfiyah, dilepaskan dari konteksnya, tidak mengikuti metodologi istinbath, dan dilepaskan dari ‘illat (faktor) kekinian.
Jika ada ayat “Bunuhlah orang-orang kafir di mana pun kalian temukan mereka”, maka tidak ada tafsir lain selain perintah menghunus pedang dan memanggul senjata. Jika ada ayat “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sebelum kalian ikuti agama mereka”, maka tidak ada makna lain selain kita harus bersitegang dan curiga tanpa batas dan reserve. Kita bisa temukan banyak ayat lain yang bisa jadi bahan baku berpikir dan bertindak radikal, termasuk larangan mengangkat orang kafir sebagai اولياء yang bikin geger orang Indonesia tempo hari itu.
Sumber kedua adalah klaim tentang kebusukan demokrasi, nation state, dan pemimpin politik yang mengakui demokrasi dan nation state. Radikalisme memikat anak-anak muda karena menyediakan alternatif untuk memahami deprivasi relatif yang menimpa mereka.
Seluruh kekacauan tertib sosial dan politik, termasuk isu pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, dan dominasi asing dalam perekonomian adalah kesalahan sistem sekuler. Mereka mengutuk pemimpin demokrasi dan negara-bangsa, mencari celah membusukkan mereka, dan menyodorkan alternatif Islam bagi nation state sekuler.
Jadi masalahnya bukan siapa presidennya, tetapi sistem yang diikutinya. Karena itu, tidak perlu heran, radikalis yang sekarang kritis sama Jokowi dan punya agenda membusukkan rezim Jokowi, dulu juga kritis sama SBY dan ingin membusukkan rezim SBY. Jika sekarang mereka “berteman” dengan SBY dan memuji SBY yang dulu lunak kepada mereka, itu semata karena tidak lagi jadi presiden dari sebuah sistem sekuler.
Sumber ketiga adalah perasaan teraniaya dari Barat dan ingin membalas seluruh kekejian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Para pelaku teror adalah mereka yang marah dengan Amerika dan Israrel serta sekutu-sekutu mereka yang keji terhadap Islam dan kaum muslimin. Teror di sini adalah dalam rangka membalas perbuatan mereka di sana. Bunuh diri adalah cara terhormat untuk membalas perbuatan Amerika yang membunuh banyak orang di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika dan merampok kekayaan alam mereka.
Inilah sumber-sumber nalar radikal. Tanpa kejujuran mengakui sumber-sumber ini, kita tidak akan bisa membereskan gejala radikalisme Islam yang mewabah dimana-mana, termasuk Indonesia. (*)
Penulis adalah Sekjen Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Disadur dari NU Online