NU Cirebon
Cirebon: Fenomena ‘War Takjil’ belakangan ramai dibincangkan warganet di media sosial (medsos). Banyak masyarakat mengaitkan kegiatan berburu hidangan berbuka puasa yang juga diikuti warga non-Muslim itu dikaitkan dengan keberagaman di Indonesia.
Menanggapi hal itu, pemerhati medsos, Gus Rifqiel Asyiq mengatakan, jika ditinjau dari linguistik, memang ada sejumlah idiom yang lahir di adab modern ini. Salah satunya lahir dadi medsos.
“Medsos menjadi barometer realitas sosial. Sehingga muncullah istilah ‘War Takjil,” ujar dia saat mengisi acara Tadarus Konten edisi kedua pada Sabtu, 23 Maret 2024 malam.
Dalam acara yang mengusung tema “Menanggapi Fenomena ‘War Takjil’ di Medsos, Cerminan Moderasi di Indonesia?” itu, ia menyebutkan, istilah tersebut benar-benar baru di medsos. Pasalnya, tren itu baru muncul kurang lebih saat hari 10 hari pertama Ramadan.
Meski demikian, pengasuh Pondok Pesantren Daar Al-Qur’an (Daqu) Tegalgubug, Cirebon itu mengimbau masyarakat awam untuk tidak salah dalam memahami istilah ‘War Takjil’.
“War itu artinya perang. Maka istilah ini jangan dipahami dengan konotasi negatif,” katanya.
Karena itulah, ia menegaskan bahwa saat ini cukup penting untuk memahami istilah-istilah yang tengah ramai dibincangkan di medsos.
“Misalnya FYP di TikTok, dan lain sebagainya. Terlebih istilah ‘War Takjil’ ini usianya masih cukup belia. Dari istilah ini juga kemudian lahir kata Nonis, atau kepanjangan dari non-Islam. Ini hanya guyonan antara umat Muslim dan non-Muslim saja,” ucap Gus Rifqiel.
Menurutnya, istilah ‘War Takjil’ yang ramai di medsos merupakan respons yang cukup positif. Meminjam kata Gus Dur, bahwa beragama itu tidak boleh petentengan, terlebih dengan non-Muslim.
Baca Juga: Hukum Menggunakan Inhaler Asma saat Berpuasa
“Beragama itu harus riang gembira, dan istilah ‘War Takjil’ itu menunjukkan konotasi riang gembira. Selain itu, istilah tersebut juga merupakan euforia positif bagi komunikasi kebahasaan kita. Sehingga komunikasi antarumat beragama ini sehat,” jelasnya.
Arti takjil
Dalam kesempatan itu, Gus Rifqiel menjelaskan, istilah takjil sebenarnya merujuk pada sunah Rasulullah Saw untuk mempercepat buka puasa ketika waktu maghrib tiba.
“Takjil itu bentuk masdar dari ‘ajjala, yu’ajjilu, ta’jilan, ta’jilatan, ta’jalan, ti’jalan, mu’ajjalan. Sehingga yang dimaksud percepatan di sini dimaksudkan untuk segera membatalkan puasa, bukan salat Maghrib,” jelas alumnus Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta itu.
Lebih lanjut, ia mengatakan, jika mengikuti arti tekstual, maka berbuka puasa menggunakan kurma atau air putih seperti yang dilakukan Rasulullah Saw.
“Baru setelah berbuka kemudian salat Maghrib,” ujar alumnus program Pendidikan Kader Mufasir (PKM) Pusat Studi Al-Qur’an, Jakarta itu.
Baca Juga: Ayat-ayat Kewajiban Berdakwah
Ia menegaskan, Rasullullah Saw memiliki prinsip hanya membatalkan puasa ketika masuk waktu maghrib, bukan makan besar. Dari sinilah, kata dia, muncul istilah takjil.
“Tetapi di Indonesia ini kata tersebut diartikan sebagai makanan pembuka sebelum makan besar. Takjil itu hanya untuk membatalkan puasa dengan alasan percepatan. Sebab akan dianggap makruh jika seseorang memperlambat berbuka puasa,” tandasnya.[]