MENCIUM atau memeluk pasangan yang sah merupakan salah satu bentuk cinta atau kasih sayang. Meski demikian, sebaiknya aktivitas bercumbu seperti itu tidak dilakukan saat sedang berpuasa. Pasalnya, tindakan tersebut dapat dihukumi makruh.
Pernyataan tersebut seperti yang dijelaskan tim Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon.
Melalui kajian yang bertajuk fikih puasa, lembaga yang dipimpin KH Imam Nawawi itu menjelaskan bahwa mencium atau memeluk pasangan saat berpuasa wajib, yakni saat Ramadan, Qadha, maupun Nazar hukumnya makruh bagi orang yang besar syahwatnya.
Kemakruhan tersebut tidak berlaku bagi orang yang mampu mengendalikan syahwatnya. Meski demikian, tetap saja hukumnya lebih baik untuk tidak melakukannya.
Baca Juga: Cara Memahami ‘Tidurnya Orang Berpuasa itu Pahala’ ala Gus Baha
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan:
ذَكرْنا أنَّ مَذْهبَنَا كَراهَتُها لِمَن حَركَتْ شَهْوتُه ، وَلا تُكْرَه لِغيرِه ، وَالأَولَى تَرْكُها.
“Telah kami jelaskan bahwasanya mazhab kami (Syafi’iyyah) menghukuminya -mencium pasangan- makruh bagi yang syahwat-an dan tidak bagi yang tidak syahwatan, dan lebih baik tidak melakukannya.”
Masih dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi merinci kemakruhan tersebut sebagai berikut:
“Barang siapa dengan mencium tergerak syahwatnya maka makruh ia mencium dalam kondisi berpuasa. Kemakruhannya makruh tahrim. Bila tidak tergerak, maka menurut Imam Syafi’i: tidak masalah, namun meninggalkannya lebih utama berdasarkan hadis riwayat ‘Aisyah : ‘Rasulullah Saw mencium dan menyentuh sementara beliau berpuasa namun beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan nafsunya di antara kalian.”
Menurut keterangan dari Ibn Abbas Ra: “Bagi orang yang sudah lanjut usia diberi dispensasi melakukannya. Akan tetapi tidak bagi pemuda, karena bagi salah satunya (pemuda) dikhawatirkan menimbulkan keluarnya sperma hingga bisa membatalkan puasanya, dan bagi lainnya (lansia) tidak dikhawatirkan karenanya hukumnya dibedakan di antara keduanya.”