NU Cirebon
MUNTAH saat berpuasa sering menjadi pertanyaan umat Islam, terutama terkait apakah hal tersebut membatalkan puasa atau tidak. Dalam fikih, muntah dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu muntah yang tidak disengaja dan muntah yang disengaja. Masing-masing memiliki hukum yang berbeda dalam menentukan sah atau batalnya puasa seseorang.
Jika seseorang muntah karena tidak mampu menahan mual atau secara alami tubuh mengeluarkan isi perut tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah dan tidak perlu mengqadha.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:
مَنْ ذَرعَه الْقَيءُ وَهو صائمٌ، فَليسَ عَليهِ قَضاءٌ، وَمَن استَقاءَ فَليقْضِ
“Barang siapa terdorong untuk muntah dan dia berpuasa, maka tidak ada kewajiban qadha baginya. Dan barang siapa sengaja untuk muntah maka wajib baginya untuk qadha.” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini menegaskan bahwa muntah yang terjadi tanpa kesengajaan tidak membatalkan puasa. Misalnya, seseorang mengalami mabuk perjalanan, mual karena sakit, atau mencium bau tak sedap yang memicu muntah secara spontan.
Sebaliknya, muntah yang disengaja—seperti dengan memasukkan jari ke tenggorokan atau menggunakan obat untuk memancing muntah—dapat membatalkan puasa. Bahkan, jika dokter menyarankan muntah sebagai bagian dari pengobatan, puasanya tetap dianggap batal dan harus diganti (qadha).
Dalam kitab Hasyiyah karya Syaikh Mahfudh Termas, disebutkan:
لَوْ احْتاجَ المَريضُ إلى التَّقيُّؤِ لِأجْل التَّداوي بقَولِ طَبيبٍ أفْطرَ. أي: وَعَليهِ القَضاءُ.
“Jika seseorang yang sakit butuh untuk muntah untuk pengobatan sesuai saran dokter, maka puasanya batal.”
Dari keterangan ini, jelas bahwa tindakan muntah yang disengaja, baik karena alasan medis maupun lainnya, tetap membatalkan puasa.
Jika seseorang muntah, lalu tanpa sengaja sebagian muntahan kembali tertelan, puasanya tidak batal karena tidak disengaja. Namun, jika seseorang dengan sengaja menelan kembali muntahannya, maka puasanya batal.[]
Wallahu A’lam….